Sabtu, 25 Juli 2015

SEBUAH PAGI YANG LEMBAB DAN APRIL YANG CANTIK


Hanya Cerpen Fiksi

Pagi yang lembab bercampur butiran embun yang menempel di kaca jendela kamarku yang tak bergorden. Hawa dinginnya mengalir masuk melalui 2 ventilasi di atas jendela yang terbuat dari kayu, dinginnya menyebar cepat ke seluruh ruangan kamar yang hanya berukuran 3 meter kali 3 meter. Membuatku makin malas beranjak dari kasur dan selimutku. Aku gulingkan tubuhku ke samping kiri dan kutekuk kedua kakiku agar dapat masuk ke dalam selimut seutuhnya, karena memang ukuran selimutku yang tak sesuai dengan panjang tubuhku, selimutku terlalu kecil karena hanya terbuat dari handuk bekas. Terdengar dari kejauhan, suara kokokan ayam jago yang saling bersahut sahutan sebagai alarm alami penanda pagi telah tiba. Dari posisi tidur tertutup handuk, aku intip sebentar pandanganku kearah jendela yang berteralis besi itu, tak nampak sinar matahari menembus kaca. Mungkin sedang mendung pikirku. Atau mungkin masih terlalu pagi. Lalu aku kembali masuk ke dalam selimut handuk. Dengan mata sayup-sayup aku perhatikan arlojiku, waktu menunjukkan tepat jam 5.

Tak lama kemudian. Aku bergegas saja untuk bangun, aku ingat hari ini hari minggu, aku ada janji lari pagi dengan April, sahabatku. Lekas aku berdiri menghadap cermin yang kacanya telah retak-retak dan berjamur, sehingga tubuhku juga nampak patah-patah. Dengan lebih mendekat ke cermin, aku bersihkan kotoran yang menempel di pinggiran mataku. Lalu kuminum segelas air putih yang ada di atas meja kayu dan aku semburkan airnya ke arah cermin, di cermin terlihat tubuhku seolah-olah patah-patah dan meleleh. Aku tertawa sejenak, bukan karena sedang lucu, melainkan sedang bersemangat.

Dengan pakaian serba putih yang telah aku gosoki dengan kapur barus, aku mulai buka pintu kamarku dengan perlahan, eh maksudku dengan tangan. Kemudian aku keluar. Lampu-lampu lorong sudah dipadamkan, jadi sedikit gelap. Nampak seorang suster tua berjalan di depanku sambil membawa keranjang sayur di tangan kiri dan kanannya, sepertinya baru pulang dari belanja di pasar. “Selamat pagi mas Agus...” Sapa suster tua itu kepadaku. “Selamat pagi juga sus...” Jawabku sambil tersenyum. “Tumben.. mas Agus sudah bangun pagi-pagi begini?” Tanya suster tua itu. “Mau lari pagi sus, biar sehat jiwa raga.” Jawabku. Kemudian suster tua tersebut kembali berjalan.

Di dalam lorong yang sedikit gelap ini terdapat 20 kamar yang warna pintunya sama yaitu abu-abu, bentuk pintunya juga sama yaitu persegi panjang, dan ukuran kamarnya juga sama yaitu 3 kali 3 meter. 19 kamar diantaranya telah berpenghuni. Aku sendiri menghuni kamar nomor 14. Kamar yang tak berpenghuni tepat berada disebelah kiri kamarku, yaitu kamar nomor 13. Nah, April, sahabatku yang cantik berada di sebelah kiri kamar kosong tersebut, kamar nomor 12. Kami bertetangga dekat, hanya 6 langkah. Maka, ku segerakan melangkahkan kakiku 6 kali kearah kiri menuju depan kamar April. Akhirnya aku sampai juga di depan pintu kamar April dengan selamat. Di tengah pintunya terdapat tempelan angka 12 yang terbuat dari bahan kertas stiker, di bawah stiker angka 12 terdapat tulisan kecil menggunakan spidol hitam “Awas yang punya anjing galak!”. Aku tau, itu adalah tulisanku. Karena aku juga tau, April itu sejenis manusia yang galak, apalagi setelah anjing labrador hitamnya mati seminggu yang lalu karena kegilaannya. Bayangkan saja, anjingnya sendiri ia suntik menggunakan cairan avtur, hanya karena obsesi April yang ingin menjadi seorang dokter. Haha... dasar orang gila! Orang gila cantik sih.

Dari dalam kamarnya kudengar ia sedang asyik berbicara entah dengan siapa menggunakan bahasa yang tidak aku ketahui. Lalu tanpa mengetuk pintu, aku langsung membuka pintu kamarnya yang tak dikunci, dengan perlahan. Aku intip sedikit, nampak ia sedang mengobrol dengan sebuah boneka plastik berwujud bayi perempuan berambut pirang bergaun motif bunga-bunga. Kulihat April masih merebah di atas kasurnya sambil memeluk boneka tersebut di tangan kirinya. Kini matanya tertuju padaku, dan akhirnya muncul dialog:

April : Hey.. Agus! Masuk kantor orang nggak ketok-ketok dulu!
Aku : Hah.. kantor? Hmm... gilanya makin parah ini anak.
April : Ini kantorku, tempat aku praktek. Aku ini dokter yaah..
Aku : Hmm... Praktek apa sih?
April : Ya macem-macem lah, kebetulan ini lagi ada pasien seorang gadis kecil keturunan Belanda.
Aku : Sakit apa gadis kecil ini? (Aku bertanya sambil menutup mulutku karena menahan tawaku yang hampir pecah).

April mencubit lenganku dengan gemasnya, aku tahan sekuat-kuatnya karena tak mungkin aku tega membalas cubitannya. Terlalu cantik untuk disakiti, bahkan ia pun sebenarnya sedang sakit, sakit jiwanya. Dengan memandang wajahnya saja, seolah menjadi pembius rasa nyeriku.

April : Awas yah kalau berani meledekku lagi! Aku cubit lebih keras lagi!
Aku : Nggak nggak nggak.. Ampun deh...
April : Awaaas...
Aku : Hehehe... Eh, ayo kita lari pagi, kan kemaren kita udah sepakat mau lari pagi?
April : O... iya, aku lupa! Tunggu sebentar, aku ganti pakaian dulu. Tolong, pintunya ditutup sedikit ya Gus..
Aku : Hah? Ganti disini?
April : Iya, ada yang aneh?
Aku : Nggak.

Ya Tuhan, aku tutup sedikit pintunya. Jantungku langsung berdebar kencang, darahku mengalir naik hingga ujung kepala, mata kubuka lebar-lebar tanpa berkedip, sebentar lagi akan aku saksikan pemandangan indah luar biasa atas ciptaan-Nya yang Maha Agung. April!!!

Aku : Buseeeet! Yang ganti baju, bonekamu?
April : Heh! Ini pasienku!
Aku : yaa... ya itu, maksudku. Yang ganti baju pasienmu?
April : Ya iya laah.. Pasienku kan lagi sakit, dia harus ikut joging, banyak-banyak menghirup udara pagi yang sejuk.
Aku : Ooooh...

Rasa rasanya ingin kujedotkan kepalaku ini ke kasur! Kukira dia yang mau berganti pakaian, malah bonekanya yang diganti pakaiannya. Gilaaa....!

Kini bonekanya telah siap dengan pakaian mungil yang lebih ketat. Sementara itu, aku dan April mengenakan pakaian yang sama, sejenis piyama berwarna serba putih. Sebotol air mineral milik April telah aku bawa, karena April harus menggendong bonekanya, nyatanya bonekanya memang tak bisa berjalan apalagi berlari. Kami berjalan menelusuri lorong yang masih tetap gelap untuk menuju pintu keluar. Tepat di depan pintu keluar, pak satpam menyapaku “Selamat pagi mas Agus.. jangan keluar jauh-jauh yaa..”. “Siap... Pak!” Jawabku.

Sebuah taman yang berisi rerumputan hijau dan aneka bunga, membentang luas di depan pintu yang dijagai oleh pak Satpam. Kami berjalan ke arah lembah rumput yang agak luas. Kulihat di cakrawala sebelah timur, langit mulai membentuk warna gradasi jingga biru dengan sedikit awan. Beberapa ekor ayam jago mondar mandir mencari tanah yang bisa dipatuk-patuk. Beberapa suster juga kulihat mondar mandir, ada yang menyiram bunga, menyapu dedaunan kering, membaca koran, dan senam. Para penghuni kamar lainnya tak kulihat, karena masih asyik dengan mimpinya masing-masing di kamar. Kulihat juga April sedang meletakan bonekanya di rumput yang ada di depannya, mungkin si April ingin mengajarkan gerakan-gerakan senam kepada bonekanya. Tak lama kemudian, ia mulai melakukan gerakan senam dengan gaya semau-maunya, seperti gaya vokalis Band Metal yang sedang manggung. Mengibaskan rambutnya keatas dan kebawah berkali-kali. Dasar aneh!.

Aku hirup udara yang lembab ini dalam-dalam, agar oksigennya masuk keseluruh organ tubuh. Lalu aku pun mulai melakukan senam dengan wajar sambil sesekali tertawa melihat tingkah April yang makin menjadi-jadi. Aku heran, gadis secantik dia bisa bertingkah tolol seperti itu. Tadi senam bergaya vokalis Band Metal, lalu senam bergaya pantomim robot-robotan, sekarang senam bergaya pemain tinju. Ya ampuuun. Tapi, apapun gayanya, wajahnya tetap mempesona. Rambutnya yang panjang berwarna coklat, kini mulai berubah menjadi jingga disetiap ujungnya, karena cahaya matahari mulai memasuki kawasan yang kami pijaki. Sesekali ia palingkan wajahnya kearahku sambil tersenyum dan mengedipkan mata kirinya. Aku pura-pura saja tak melihatnya.

Kini matahari telah muncul seutuhnya dilangit sebelah timur, mencahayai kami semua yang berpijak di atas bumi. Kurentangkan kedua tanganku dengan telapak terbuka menghadap matahari. Dulu, April pernah berkata padaku bahwa sinar matahari pagi mengandung vitamin D, yang baik untuk tulang dan menambah sistem kekebalan tubuh. Ajaib sekali. Lalu kubalikan tubuhku 180 derajat membelakangi matahari, dengan posisi tangan masih terentang, tujuannya agar punggung dan pantatku juga ikut mendapatkan radiasi vitamin D. Kini, pandanganku tertuju pada sebuah gedung besar di depanku. Sebuah gedung paninggalan jaman Belanda, itu pertanda bahwa gedung tersebut telah berusia lebih dari 100 tahun, temboknya kokoh berwarna putih, memiliki 2 pintu besar yang saling berjejeran yang selalu dijaga oleh pak satpam, di atas pak satpam terdapat sebuah tulisan besar yang dibuat melengkung, tulisannya “RUMAH SAKIT JIWA VREDIGHEID”. Vredigheid itu artinya ketentraman, kedamaian dan ketenangan. Di gedung itu lah kami tinggal. Aku tak ingat sudah berapa tahun aku tinggal, mungkin karena akunya yang pelupa. Kulihat kaca-kaca jendela rumah sakit memantulkan cahaya matahari yang cukup menyilaukan. Aku balikkan lagi tubuhku.

Aku langsung saja berlari mendekati April yang masih melakukan senam, aku sambar tangannya, kupegang erat supaya tak lepas, lantas membuat April menjadi harus ikut berlari. Sehingga terpaksa ia tinggalkan bonekanya begitu saja di rerumputan. Kemudian, kami berdua lari pelan-pelan mengikuti lintasan kecil berkelok-kelok yang terbuat dari susunan blok paving. Menyusuri lembah sabana dan taman bunga. Kami terus berlari untuk mencapai ujung dari lintasan ini.

Aku : April, pasienmu tertinggal sendirian di halaman rumah sakit. Tak apa kan? (Maksudku adalah bonekanya)
April : Tak apa.. nanti juga dia nyusul.
Aku : Hmmm... mulai kambuh gilamu.
April : Kamu pikir kamu waras? Kamu itu kan juga gila.
Aku : Aku waras kok.
April : Kamu itu gila!
Aku :  Kalau aku gila, tak mungkin aku bisa mengendalikan kekuatan pikiranku, seperti saat ini.
April : Mmmm.... begitu? Trus?
Aku : Hatiku masih bisa merasakan aneka macam perasaan. Senang, Gembira, Sedih, Takut, Gelisah, Kaget dan Iba. Lalu kemudian aku juga bisa merefleksikan perasaan-perasaan tersebut pada gerakan tubuh.
April : Maksudnya? -___-
Aku : Disaat perasaanku sedang senang dan gembira, maka otomatis aku akan tertawa. Sebaliknya, saat perasaanku sedang sedih dan kecewa, maka otomatis pula aku akan menangis. Begitu...
April : Aah.. kalau cuma begitu, aku juga merasakannya!
Aku : Ooh.. kamu juga bisa merasakannya? Aku kira cuma aku saja. Hahaa
April : Aduuuh... makannya, jangan sok pintar. Sudah gila, sok pintar lagiii...
Aku : Ahahaa...

Kami masih berlari. Rambut panjangnya sengaja ia ikat dan gulung ke atas. Sehingga dapat aku lihat keringat di lehernya mengalir menuju pundak, membuat kerah piyamanya menjadi basah. Sesekali ia naikkan celananya yang sedikit kendor karena selalu saja melorot, aku pun begitu. Maklum, seragam khusus pasien.

Dalam gerakan slowmotion, aku benar-benar memperhatikannya: Wajahnya tampak dari samping. Rambutnya panjang kecoklatan. Dahinya lebar. Alisnya hitam lebat. Matanya menjorok kedalam. Bulu matanya hitam lentik dan asli. Hidungnya mancung dan sedikit lancip ujungnya. Pipinya terdiri dari lapisan kulit tipis berwarna kuning langsat dengan ditumbuhi bulu-bulu halus dan lesung yang begitu dalam ketika sedang tersenyum. Bibirnya terbagi menjadi dua bagian, atas dan bawah, yang berwarna merah jambu tanpa olesan lipstik. Bibir atas nampak lebih maju ketimbang bibir bawahnya. Dagunya sedikit lancip tanpa belahan. Telinganya menempel tepat disamping kanan dan kiri kepalanya yang lonjong. Sepasang anting permata hitam menembus lapisan kulit telinganya sebagai hiasan. Keseluruhan obyek menyatu dalam garis-garis anatomi yang tepat, membentuk sebuah mahakarya yang dinamakan “wajah”. April. Dia lah sebagian kecil dari ciptaan Tuhan.

Gedung rumah sakit telah hilang dari pandangan. Tak kupedulikan lagi pesan pak satpam, kini aku berada sekitar 1 kilometer dari rumah sakit. Kini background pemandangan perlahan mulai berganti. Akhirnya sampai lah kami di ujung lintasan lari, kami pun berhenti sejenak. Disebelah kanan dan kiri kami berdiri pohon-pohon karet yang batangya terdapat garis-garis bekas sayatan pisau. Tak kulihat seorang pun disekitar sini, kecuali April. Mungkin karena hari ini hari minggu, para petani lebih memilih ngaso dirumah ketimbang berkebun. Nampak di depan kami, sebuah kebun anggur yang terbentang luas, gapuranya terbuat dari bambu yang dililit tanaman Alamanda, yang berbunga warna kuning. April memegang tanganku lalu dia tariknya aku masuk ke dalam kebun anggur tersebut.

Setelah masuk ke dalam kebun, yang kurasakan adalah sejuk. Sejuk karena tanaman anggur disini memang sengaja dibuat saling merambat dan mengikat antara cabang satu dan cabang lainnya. Tepat di atas kepala kami. Dengan tangan yang masih terpegang si April, aku fokuskan pandangku ke segala penjuru. Kulihat cahaya matahari masuk melalui celah-celah dedaunan karena begitu lebatnya. Daun hijau dan daun kuning menepati posisi di bagian atas, sedangkan daun kering berserakan di bawah, di tanah. Buah anggur menempel disegala sisi, semua berwarna hijau, pertanda bahwa mereka belum matang.

April melepaskan pegangannya, kemudian melompat, mencoba meraih beberapa butir anggur dengan tangannya. Setelah berhasil ia dapatkan, tiba-tiba ia lemparkan sebutir anggur tepat di wajahku, “pyaaak”. Sebutir anggur mendarat dan pecah di dahiku. Sontak membuatku kaget.

Aku : Sialaaan... Awas yah! Aku balas
April : Coba saja kalau bisa.. Weeek..

Dengan tubuhku yang tinggi, aku tak perlu repot melompat untuk meraih serenteng anggur. Kini serenteng anggur telah aku dapatkan. Nampak April sedang mondar mandir mencari tempat mengumpat pada barisan pangkal pohon anggur tersebut. Aku dekati. Ketika ia berdiri hendak berpindah tempat sembunyi. Langsung kulempari serenteng anggur sekaligus. Dan “Praaaak”, tepat mendarat di wajah cantiknya.

Aku : Ahahahaha.... Rasain!

Aku ketawai dia dengan sepuas-puasnya. Wajahnya yang belepotan air, biji dan kulit anggur nampak memerah, sepertinya hendak menangis. Dan benar saja, ia menangis sambil duduk menutupi wajahnya.

Aku : Yaaah... begitu saja menangis..
April : Bodoh kamu! Sakit tau!
Aku : Kamu duluan yang memulai
April : Aku cuma sebutir, sedangkan kamu serenteng! Dasar.. orang gila tak berperasaan.

Setelah kupikir-pikir, benar juga. Aku sudah keterlaluan. Bisa-bisanya gadis secantik itu yang begitu aku cintai yang begitu aku sayangi, malah kusakiti. Ah.. bodohnya aku.

Aku duduk disebelahnya. Perlahan kupeluk dirinya, kubisikan kata-kata maaf ditelinganya, kubelai-belai rambutnya, kubersihkan pula sisa-sisa pecahan anggur yang menempel di wajahnya. Kurasakan tangannya menggenggam erat baju piyamaku. Isak tangisnya perlahan mulai berhenti. Aku tiup-tiup wajahnya, berharap rasa sakitnya segera terbang bersama angin.

Tiba-tiba April menatap wajahku tanpa ekspresi, matanya begitu tajam. Aku pun begitu, menatapnya dengan tajam. Memikirkan hal apa yang akan terjadi setelah ini. Perlahan April mendekatkan wajahnya padaku, lalu makin dekat dan makin dekat, hingga bibir kami akhirnya bersentuhan. Ya.. April menciumku. Dan aku pun menciumnya. Mencium sebuah bibir yang begitu sempurna bentuknya. Pertama kalinya dalam hidupku. Oh Tuhan.. betapa nikmatnya. Aku terbius kenikmatan. Tak dapat aku memikirkan hal-hal lainnya kecuali April. Lalu, ia kalungkan tanganya pada leherku, aku pun begitu, kukalungkan juga tanganku di lehernya. Dapat kulihat, bulu-bulu halus di tangannya mulai berdiri ketika kubelai daun telinganya. Aku rebahkan tubuhnya di atas tanah yang beralaskan dedaunan kering. Hembusan nafas yang keluar dari lubang hidungnya aku hirup dalam-dalam. Kini tubuhnya yang langsing nampak mengeliat setelah kuciumi lehernya, nafasnya pun mulai mengeluarkan suara desahan. Secara reflek, tangan kami berdua bergerilya mencari cari sarang persembunyian lawan. Karena terlalu nikmatnya, hingga aku tak sadarkan diri.
*
Pada sore hari sekitar jam 5, aku dibangunkan oleh pak Dokter dan 3 orang suster yang semuanya aku kenal. Aku bangun di kebun anggur yang kering dan gersang, dengan tanpa busana, sambil memeluk sebuah makam dan sebuah boneka usang yang juga tak berbusana dan berlubang di bagian alat vitalnya, aku kaget ketika melihat papan nama nisan makam tersebut bertuliskan R.I.P APRILLIA 1990. Astaga....! kegilaan macam apa ini?. Semuanya begitu nyata, sampai tak bisa kubedakan antara mimpi dan realitas, sepertinya aku memang masih harus tinggal lebih lama lagi di Rumah Sakit bersama para Dokter dan para suster yang baik dan penyabar. Pikiranku terasa lelah sekali, aku ingin pulang, semoga ini adalah realitasnya.

Aku raih pakaianku yang berserakan di tanah, lalu segera kupakai. Pak Dokter dan bu suster telah menungguku untuk membawaku pulang menuju Rumah Sakit Jiwa Vredigheid. Aku dimasukannya ke dalam mobil ambulan. Sambil menepuk nepuk pundakku, pak Dokter menceritakan jenis penyakitku, kalau tidak salah namanya Skizofrenia. Dalam perjalan pulang, masih terbayangkan sosok April dalam pikiranku, “Aprilku yang kucinta... entah siapa dirimu, entah darimana asalmu, entah bagaimana kamu datang dan entah kemana kamu pergi, aku ucapkan terima kasih yang sebesar besarnya, terima kasih telah memberiku pengalaman tak terlupa pada sebuah pagi yang lembab”.
*


Jogjakarta, 25 Juli 2015

Rabu, 08 Juli 2015

#3 TRILOGY DIARY

CATATAN AKHIR GAGAK


Sebuah Cerpen Fiksi Terakhir Tentang Burung Gagak

Sungguh malam yang mengenyangkan dan menyenangkan untukku. Bagaimana tidak, puluhan serangga Laron berhasil aku santap setelah 30 hari lamanya berpuasa karena kemarau panjang, yang lebih menggembirakan lagi untukku yaitu makanan penutupnya, seekor kupu-kupu jantan besar yang kebetulan mengantongi cairan madu. Hmm... manisnya terasa hingga kerongkonganku. Memang malam ini berbeda dengan malam-malam kemarin, hawa yang dingin mungkin membuat Bangsa Laron berhijrah dari tempat persembunyiannya yang panas menuju taman yang dingin dan lembab. Terlihat sayap-sayap Laron bertaburan di atas taman, mengotori bunga – bunga dan rerumputan. Aku bergegas pergi, urusanku dengan Bangsa Laron telah usai.

Tepat disayap kananku, aku memegang sebuah buku tulis usang berisi catatan pribadi yang ditulis oleh seekor semut dan kupu-kupu. Buku ini mirip seperti sebuah buku diary. Aku merampasnya sebelum aku memakan kupu-kupu yang tadi. Sepertinya akan menarik jika aku ikut berpartisipasi dalam menulis pengalaman sehari-hariku, tapi harus aku tulis secara diam-diam, jangan sampai ketahuan teman-temanku. Aku tak mau jika temanku mengetahui aku yang seekor Gagak ini, menulis sebuah buku diary, pasti celotehan ejekan mereka pecah ditelingaku. Aku tak mau. Ini harus rahasia.

Aku mulai menulis. Aku adalah seekor Burung Gagak. Sebagai Gagak hitam jantan, malam adalah duniaku, waktu dimana aku beraktifitas. Bermain, belajar, makan, minum dan bersantai. Manusia menyebutku sebagai binatang Noktural. Sebetulnya selain aku, masih banyak binatang lain yang juga sama-sama beraktifitas dimalam hari: Kelelawar, Burung Hantu, Kucing dll. Walaupun sama-sama Noktural, kami tak pernah saling sapa ketika berpapasan. Karena setiap binatang Noktural, memegang teguh egonya masing-masing. Sama-sama ingin tampil sebagai penguasa malam, ingin menjadi rajanya malam. Tapi, aku tak peduli. Bagiku, Bangsa Gagak lah yang lebih pantas disebut rajanya malam dan Bangsa Gagak lah yang lebih patut dihormati. Meskipun memang burung Hantu nampak lebih karismatik, lebih berwibawa, namun ia tak memiliki sisi Magis di dalam dirinya, ia tak lebih dari sekadar burung biasa. Sedangkan aku, aku memiliki cerita tentang sebuah kutukan, kutukan yang sudah ada sejak dari jaman nenek moyangku. Rupa-rupanya seluruh Gagak telah dikutuk bahkan sebelum Gagak - gagak tersebut ditetaskan dari telurnya. Gagak banyak dikaitkan dengan binatang pembawa kematian. Konon, setiap rumah-rumah yang dihinggapi oleh seekor Gagak pada malam hari, maka keesokan harinya akan ada kabar duka tentang kematian salah satu anggota keluarga di rumah tersebut. Mungkin cerita itu lah yang membuat Bangsa Gagak berbeda dengan Noktural lainnya.

Kini aku tinggal disebuah pohon Kamboja besar di kawasan makam tua yang sunyi dan gelap. Gelap ketika malam atau pun siang, karena makam tersebut ditumbuhi banyak pohon besar dan juga semak semak liar yang tak terurus, sehingga hanya sedikit cahaya matahari yang mampu menyentuh tanah, udaranya pun terasa begitu lembab. Sangat cocok untuk tidur siang dan bermimpi hingga malam tiba.
*
Aku terbangun dari tidurku dengan tiba-tiba, membuat kepalaku sedikit pusing, gara-gara mimpiku barusan, aku tarik ulur nafasku perlahan untuk menormalkan detak jantungku. Kulihat, malam telah datang membawa serta kesunyiannya. Aku benar-benar terkejut, untuk pertama kalinya dalam sejarah hidupku, aku mendapatkan mimpi yang ter-amat aneh. Lekas aku cepat-cepat mengambil buku diary untuk segera aku tulis mimpiku, sebelum aku lupa karena ini penting:

Terdengar olehku suara ayam jantan berkokok disamping kamarku, hangatnya cahaya matahari menembus kaca jendela menyentuh kulit wajahku, menandakan bahwa pagi telah datang. Lekas aku bangun dari tidurku, lalu mulai membuka mata. Tapi tak ada satu pun yang dapat aku lihat, aku yakin benar aku telah membuka mataku, tapi tetap saja aku tak melihat apa-apa. Aku merasa takut, gelisah sekaligus khawatir. Apa yang sesungguhnya sedang aku alami? Ketakutanku berbuah tangisan, yang kemudian aku sadari bahwa itu suara tangisan seorang manusia wanita. Ya.. ternyata aku terbangun sebagai seorang wanita tuna netra.

Dan entah kenapa, didalam mimpiku aku berperan sebagai seorang wanita tuna netra, dan juga didalam mimpiku tersebut aku merasa seperti sudah terbiasa dengan keadaan tersebut, keadaan tak bisa melihat. Seakan-akan aku sudah buta belasan tahun. Apa yang dilakukan wanita itu pun, aku benar-benar turut merasakannya dan juga benar-benar detail. Aku lanjutkan kembali cerita mimpiku yang sebagai seorang wanita itu selagi aku masih ingat:

Pada suatu siang yang cerah, di dalam rumah aku berhias diri, memakai kerudung dan berbaju gamis, menenteng tas berisi buku catatan dan dompet kecil, bersiap menuju taman bunga. Aku berjalan perlahan menuju taman bunga yang letaknya di pertengahan kota tidak jauh dari tempat tinggalku, sebuah taman yang biasa digunakan oleh masyarakat untuk bermain, berkumpul dan belajar, nah.. niatku adalah untuk belajar. Aku sudah biasa belajar disana, karena suasananya begitu nyaman, banyak aneka macam suara, mulai dari suara angin, tawa, tangis, gurauan, kicauan burung, gemericik air, dll. Sehingga dapat menghilangkan kesunyianku, ditambah lagi terdapat beberapa gasebu.

Berkali-kali aku lewati jalan ini, membuatku hafal rutenya. Dalam perjalanan, aku memasuki sebuah gang yang jalannya kutahu terbuat dari susunan paving tanpa rumput, tanpa banyak dilewati kendaraan bermotor juga. Seperti biasa bau kue pukis mulai menyambangi hidungku. Hmm... baunya seakan memberi ucapan “Selamat Datang, Anda Sedang Melawati Rumah Produksi Kue Pukis H. Acong”, pemiliknya adalah seorang mualaf. Terdengar beberapa anak kecil berlarian dibelakangku sambil menggiring bola plastik yang sepertinya sudah kempes. Terdengar pula kicauan aneka macam burung yang bisa kutebak, burung-burung tersebut berkicau di dalam sangkar. Beberapa meter setelah itu, seorang ibu-ibu yang jelas kukenal orangnya menyapaku dengan ramah “Eh.. neng Ely, cantik sekali hari ini. Tumben. Mau kemana siang-siang begini?”. “Ah.. ibu Endang nih, bisa aja. Biasa, bu.. Mau ke taman” Jawabku sambil tersenyum. “Belajar lagi?” Tanyanya lagi. “Iya..bu..” Jawabku. “Yasudah.. hati-hati di jalan ya neng.. selamat belajar” Pesan ibu itu. “Iya...bu..terimakasih” Jawabku sambil mengangguk. Lalu aku kembali melanjutkan jalan sambil tersnyum-senyum sendiri, kepikiran ucapan ibu Endang tadi “Benarkah aku ini cantik? Hmmmh”, Tetapi yang terpenting adalah pesan kedua dari ibu Endang, hati-hati dijalan. Aku telah sampai pada ujung gang. Bertemu sebuah jalan aspal yang banyak dilalui kendaraan bermotor dari sisi kanan dan kiri, sesekali terdengar suara klakson.

Aku hentikan sejenak tulisan mimpiku, sayapku terasa sedikit semutan karena terlalu bersemangat campur gelisah. Aku sempatkan membuat secangkir kopi panas untuk sedikit menenangkan pikiran. Setelah pikiranku sedikit tenang, aku teringat pada sebuah taman bunga yang kemarin aku datangi ketika menyerbu bangsa Laron, ya.. memang disana terdapat aneka macam bunga dan beberapa gasebu, persis seperti lokasi taman bunga yang ada di alam mimpiku. Lekas, Aku boyong kopiku dan buku diary ini kesana, aku akan menulis disana saja.

Beberapa menit kemudian, aku telah sampai di taman bunga yang gelap karena lampu tamannya hanya mampu menerangi sekitaran pintu masuknya. Aku duduk manis disalah satu atap gasebu. Terimakasihku ku ucapkan kepada sang purnama yang telah memberikan sedikit cahayanya sehingga memudahkanku dalam menulis. Suasananya begitu sunyi, karena waktu telah menunjukkan pukul 23.00. Dan langsung saja kulanjutkan lagi cerita mimpiku:

Aku berjalan lagi ke arah kanan, perlahan aku melewati trotoar yang kurasakan permukaannya tak beraturan, aku mewaspadai tiap langkahku kalau-kalau ada lubang atau bebatuan yang menyembul. Terdengar aneka ragam suara disekitarku. Aku tetap fokus pada langkahku selama beberapa menit. Dan akhirnya sampailah aku tepat didepan pintu masuk taman bunga. Gerbangnya berbentuk sebuah gapura yang bertuliskan “Taman Firdaus” Kata orang-orang. Tepat di pintu masuk, kudengar bunyi musik “teloleet.. teloleet.. telolelolelooot..” Hmm.. khas sekali bunyinya. “Pak.. Es krim Conelisnya dua yaa..” Kataku pada si bapak penjual es krim. “Yang rasa apa non?” Tanya si bapak. “Mm... Mocca sama Coklat” Jawabku. “Okee.. ini non” Kata si bapak. Lalu aku membuka dompet dan meraba raba uangku, kemudian kubayar.

Aku terbang sejenak menuju gapura, untuk memastikan apakah benar taman ini bernama Taman Firdaus. Alangkah ajaibnya mimpiku, dan ternyata benar! Taman ini bernama Taman Firdaus. Aku kembali duduk di atap gasebu dan melanjutkan menulis:

Aku melangkah di jalan kecil berkelok kelok yang dibuat dari susunan batu paving, sisi kanan dan kirinya dibatasi oleh rerumputan setinggi betisku. Aroma bunga mulai tercium semerbak di hidungku. Beberapa anak dan orang tua terdengar sedang bercakap-cakap disebelah kananku, tapi agak jauh. Aku berjalan terus sambil meraba raba bunga dipinggiran. Terdengar dari arah sebelah kiri, suara laki-laki memanggil dengan nada yang lantang “Ely... Aku disini! Di Gasebo ketiga”. Nah.. itu dia, si Adam. Aku bergegas menuju ke arahnya. Adam itu sahabat terbaikku sekaligus guruku, ia 2 tahun lebih tua dariku. “Maaf ya Dam.. sudah lama menunggu yah?” Tanyaku sambil menggaruk garuk kepala yang tidak gatal. “Iya nih.. sampai ngantuk” Kata si Adam. “Maaf deeh.. ni kubelikan es Krim Conelis Mocca kesukaanmu” Rayuku kepadanya supaya reda marahnya. “Waaah... ini nih.. cocok! gak jadi marah deh..” Katanya sambil tertawa.

Setelah kami menghabiskan es krim dan membuang sampahnya di tempat sampah, ia sempat memujiku dan berkata “Tak seperti biasanya El, kamu nampak lebih cantik, Motif kerudungmu yang bunga-bunga itu seakan akan membaur dengan lingkungan sekitar yang juga dipenuhi bunga-bunga. Ditambah lagi gamismu yang berwarna coklat seakan akan kesatuan dari tangkai-tangkai bunga yang terikat, sejak kamu berjalan masuk ke taman, aku tak bisa membedakan, mana yang bunga dan mana yang kamu”.

Hahahaha.... aku sempatkan tertawa sejenak mengingat gombalan kuno dari si Adam. Ya.. bagiku itu memang gombalan kuno. Tapi lain lagi bagi aku yang sedang di dalam diri Ely:

Aku kaget mendengar kata-kata Adam, entah malu atau senang, aku bingung mengekspresikannya pada wajahku. Yang bisa kulakukan hanyalah mencubit lengannya. Ia pun berteriak kesakitan sambil tertawa.

Seperti biasa, aku mulai membuka tas dan mengeluarkan buku, buku tebal berukuran A4 dengan cover berwarna coklat. Berisi catatan-catatan cerpenku yang diketik menggunakan huruf Braille yang selama ini sudah diajarkan Adam kepadaku. Cita-citaku sejak kecil ingin menjadi seorang penulis, apa daya keadaan memaksaku tak bisa menulis, disinilah peran Adam sangat penting dalam usahaku mewujudkan cita-citaku. Betapa Agungnya Engaku Tuhan, telah ciptakan Adam untuk diriku sebagai sahabat terbaik, aku bersyukur padaMu. Disisi lain, Adam telah siap dengan mesin ketiknya, yang katanya keyword mesinnya telah dimodif menjadi huruf Braille.

Rencananya, siang ini aku akan merampungkan cerpenku, nantinya akan ada 3 cerpen yang aku buat. Cerita 1 dan 2 telah selesai, aku sendiri yang mengetiknya dengan dipandu oleh Adam. Tinggal cerita yang ke-3 yang belum. Keseluruhan tokoh dalam ceritaku adalah binatang, mirip seperti Fabel, dimana binatang bisa bicara, menulis dan berfikir layaknya manusia. Cerpen ke-1 menceritakan tentang kehidupan dan kematian seekor Semut yang kuberi judul “Catatan Akhir Semut”. Cerpen ke-2 menceritakan tentang kehidupan dan juga kematian seekor Kupu-kupu yang kuberi judul “Catatan Akhir Kupu”. Dan Cerpen terakhir menceritakan tentang...

Tepat di atas gapura Taman Firdaus tiba-tiba menclok seekor burung Hantu putih dengan matanya yang besar berwarna hitam, aku sempat kaget dibuatnya. Aku hentikan sejenak tulisanku, mataku kutujukan pada burung Hantu tersebut, aku pantau terus gerak geriknya agar aku tetap waspada, kalau-kalau ia ingin menyerangku. Beberapa detik kemudian, burung Hantu tersebut kembali terbang, menjauh dan akhirnya hilang dari pandanganku. Aku mulai kembali ceritaku:

Pada Cerpen terakhir, aku menceritakan tentang kehidupan dan sekaligus kematian seekor Burung Gagak yang masih dalam proses pengerjaan, cerpen tersebut nantinya akan diberi judul “Catatan Akhir Gagak”.

Disini aku mulai curiga, kenapa harus gagak? Aku adalah gagak. Mungkinkah tokoh gagak yang ada pada cerpen terakhirnya itu terinspirasi dari aku? Mungkin juga. Kalau memang benar Ely terinspirasi dariku, aku patut berbangga.

Aku mulai mengetik huruf demi huruf dengan perlahan, tombol keyword mesin ketinya dibuat timbul untuk memudahkanku menemukan huruf-huruf yang sesuai sehingga mendapatkan tulisan kata yang tepat, dan tentunya menggunakan huruf Braille. Sementara itu, Adam yang sedang berada di sisi kiriku sibuk membaca naskah cerpen-cerpenku sambil sesekali tertawa. “Kenapa kamu tertawa? Ada yang lucu?” Tanyaku sedikit kesal. “Kamu tega El, masa semua tokohnya kamu buat mati diakhir cerita.. Hahaha..” Jawabnya. “Semua yang hidup, pasti akan mati kan Dam?” Jawabku dengan masih meraba raba tombol keyword. “Iya sih.. kamu benar El” Katanya sambil menepuk pundaku.

Tepat jam 3 sore akhirnya cerpen terakhirku selesai. Senang sekali rasanya, akhirnya setelah 12 tahun belajar membaca dan menulis, aku bisa menciptakan karya tulis ini seperti yang aku cita-citakan. Puji syukurku ku ucapkan kepada Tuhan yang telah memberi rahmat dan hidayah luar biasa-Nya. Tak lupa juga ku ucapkan terima kasihku pada Adam yang telah banyak membantuku. Atas saran si Adam, karya cerpen ini ku beri judul “Trilogy Diary”, Kumpulan 3 cerpen yang saling berhubungan namun masing-masing judul dapat berdiri sendiri, diketik menggunakan huruf Braille.

Sejenak aku pandangi langit hitam tepat di atasku, kulihat seekor gagak terbang berputar-putar mengeluarkan suara “Aarrrkkk... Aarrrkkk”, aku tak mengenalinya. Mungkin gagak dari desa sebelah yang sedang kelaparan mencari mangsa. Aku minum sedikit kopiku yang sudah mulai dingin. Kembali aku menulis:

Adam menjabat tanganku memberi ucapan selamat, akhirnya cita-citaku sebagai penulis terwujud juga. Betapa aku bahagianya, begitu juga dengan Adam. Namun, tiba-tiba dengan nada yang sedikit serius, Adam berkata “Ely.. sekali lagi aku ucapkan selamat padamu, karya tulismu telah selesai dengan baik, kelak kamu akan menjadi penulis yang handal, dan tercapai lah cita-citamu. Dengan selesainya karyamu, ku kira kamu sudah bisa belajar mandiri”. “Maksudmu apa Dam?” Tanyaku yang begitu penasaran.

Jantungku seakan berhenti berdetak, Letupan kebahagiaan berubah menjadi dengungan kesedihan. Setelah kudengar ia berkata tepat jam 5 sore nanti, ia akan hijrah ke Negeri Yunani, sebuah Negeri tertua di Dunia, selama 4 tahun untuk melanjutkan pendidikan S-2 nya. Ia memang pernah bercerita padaku bahwa ia ingin menggapai cita-citanya menjadi filsuf, karena katanya Negeri Yunani merupakan Negeri kelahiran para Filsuf barat yang tersohor di seluruh Dunia.

Keputusannya untuk meninggalkan Negeri ini sekaligus meninggalkanku tak bisa aku halang-halangi, cita-cita memang harus digapai. Aku telah meraih cita-citaku sebagai penulis, maka kini saatnya bagi Adam untuk menggapai cita-citanya sebagai filsuf. Air mataku tak bisa kutahan, mengalir dengan derasnya di pipiku, kurasakan belaian jarinya menyentuh pipiku, mengusap butiran air mata yang terus berjatuhan. “Tenang Ely... aku hanya pergi 4 tahun lamanya” Ucapnya sambil terus mengusap pipiku. “Setelah aku sampai disana, aku akan mengirimi surat padamu setiap bulan”. Ucapnya lagi. “Janji???” Kataku. “Janji..” Jawabnya sambil tersenyum.

Waktu menunjukan pukul 03.35, aku lepas kepergian Adam dengan tangisan, tak dapat kulihat perginya, yang kudengar hanyalah langkah kakinya yang perlahan menjauh dan perlahan tak lagi kudengar langkah kakinya.

Udara malam begitu dingin, semakin menambah dingin pula pena besiku. Kulihat lagi langit di atasku, nampak ada yang janggal. Kini ada 7 ekor gagak yang beterbangan tepat di atasku, lagi-lagi aku tak mengenalinya, aku begitu asing dengan wajah mereka dan entah apa yang sedang mereka lakukan, apakah mereka ingin menyerangku? Tapi aku merasa tak punya masalah dengan mereka. Setahuku, bangsa gagak tak pernah menyerang sesama gagak jika benar-benar tak ada suatu masalah. Aku lanjutkan kembali tulasanku sambil tetap mewaspadai mereka:

Kini aku duduk menyendiri di gasebu bersama sesedihan yang terus menggebu di dalam hati. Kupegangi mesin ketiknya yang ia berikan padaku, lalu perlahan aku menulis sebuah kalimat “WAHAI KUPU KUPU SAMPAIKAN RINDUKU KEPADANYA”. Berharap ada seekor kupu-kupu yang mendengar batinku di tengah-tengah taman bunga ini.

Aku senderkan tubuhku pada tiang gasebu dengan pikiran kosong, menikmati semilir angin yang begitu lembab, hingga mengantuk kemudian ketiduran.

Pada saat itu, aku terbangun dari tidurku. Dan begitulah akhir cerita mimpiku. Kutulis dengan sedetail-detailnya. Kupandangi lagi gagak-gagak di atasku, alangkah terkejutnya diriku ketika ku tahu jumlah mereka bertambah menjadi 9 ekor. Kini aku benar-benar khawatir akan keselamatanku, jelas akan terjadi sesuatu yang tidak beres denganku. “Apa kah mereka akan mengutukku?”. Penaku terjatuh ke bawah, kemudian aku bergegas mengambilnya.

Setelah kudapati penaku di tanah, tiba-tiba tubuhku tak bisa kugerakan ketika aku dikejutkan oleh si Ely yang sedang ketiduran di gasebu lengkap dengan buku-buku dan mesin ketiknya. Dengan perlahan sekali, aku kepakan sayap menuju kembali keatas diiringi oleh suara gagak yang saling bersahutan, aku terus ke atas, pandanganku pun mulai memudar, menjadi sinar putih menyilaukan.



TAMAT

Jumat, 26 Juni 2015

#2 TRILOGY DIARY

CATATAN AKHIR KUPU


Sebuah Cerpen Fiksi Kedua Tentang Kupu-kupu

Sembari menunggu hujan reda, aku sempatkan untuk menghabiskan setetes madu menu sarapanku dipagi ini. Madu super nikmat yang aku kumpulkan dari bunga pohon kamboja tadi malam. Kesunyian jiwa dan lembabnya udara disekitar pohon kamboja semalam telah memberiku secercah semangat beserta inspirasi, sehingga secara tak sadar, aku mampu meracik suatu ramuan madu yang nikmat dari tujuh bunga kamboja yang berbeda warna. Aku menamakannya Madu Pelangi.
Perkenalkan, aku adalah seekor kupu-kupu jantan bersayap merah jingga yang tampan. Satu tahun yang lalu, aku menemukan buku kecil ini tergeletak di bawah sebuah pohon mangga. Setelah aku baca ternyata ini merupakan sebuah buku catatan harian seekor semut bodoh yang mati karena meminum racun serangga, hahaha. Sebuah catatan yang menurutku tidak menarik sama sekali, tetapi buatku itu cukup menghibur lah dan harus aku syukuri pula, karena adanya dia, aku bisa ikut menulis di bukunya.
Inilah aku, seekor kupu-kupu jantan, sejenis fauna yang diagung-agungkan oleh manusia, namaku sering dihadirkan pada sajak dan lagu-lagu mereka, aku pun selalu menjadi icon tanda cinta oleh manusia. Sebagai kupu-kupu yang teramat kecil bagi Dunia, aku sangat bangga atas diriku. Aku ditakdirkan terlahir menjadi kupu-kupu, bukan semut. Aku pernah mendengar para manusia bercakap tentang filosofi semut, mereka berkata: “Hidup harus saling tolong menolong dan bergotong royong layaknya para semut.” Hmm.. tapi aku tidak peduli, bagaimanapun juga semut tetap lah semut, dari bentuknya saja sudah tidak menarik untuk dilihat.
Aku memiliki perjalanan hidup yang panjang, sebelum menjadi bentuk yang seindah ini, aku adalah seekor ulat bulu yang jelek dan menjijikan. Oiya.. sebelumnya aku ingin meminta maaf atas penjajahan oleh Bangsaku terhadap Bangsa semut dimasa silam. Seperti kita ketahui, hidup ini adalah kompetisi, siapa yang kuat dia lah yang berkuasa. Aku akui Bangsa ulat adalah Bangsa yang bersifat parasit, merusaki tanaman yang kami tinggali. Tapi perlu diketahui, setelah kami bermetamorfosa (kata manusia) menjadi kupu-kupu, maka kami adalah hiasan, hiasan yang menghiasi tanaman, tanaman yang pernah kami rusaki. Bahkan Bangsa kami lah yang membantu bunga bunga berkembangbiak. Suatu ketika pernah ada cerita tentang sekuntum bunga matahari yang rela rusak daunnya saat dirinya ditinggali tiga ekor ulat, hanya karena ingin melihat tiga ekor kupu-kupu yang indah. Intinya adalah, keindahan sejati baru bisa dinikmati setelah merasakan yang buruk.
Banyak sudah waktu yang kuhabiskan untuk berkelana sendirian, ya... aku sendirian. Tanpa teman bahkan kekasih, bagiku keduanya cukup merepotkan, merepotkan jika aku pikirkan. Aku hanya malas jika harus ikut memikirkan segala permasalahannya, dan lagipula aku pun juga tak ingin membagikan masalah yang sedang aku pikirkan. Kukira itu adil.
***
Suatu hari dimusim panas pertengahan bulan September, aku pernah terbang melintasi hamparan perkebunan bunga Lavender yang luas di atas tanah berumput yang berbukit-bukit. Sinar matahari pagi saat itu seakan akan menambahi intensitas warna dari setiap kelopak bunganya, ungu violetnya benar-benar jujur. Harumnya semerbak hingga menusuk rongga trakeaku. Bahkan saking harumnya, jika saja ada dua puluh empat manusia yang kentut, pasti tidak akan tercium bau kentutnya. Angin yang sepoi-sepoi membuatku tak perlu mengepakan sayap banyak-banyak, aku terbang layaknya burung Elang. Angin juga membuat ujung-ujung bunga berayun-ayun ke depan dan ke belakang secara bergantian, andai saja kalian ikut melihatnya, mungkin kalian akan takjub, gerakan mereka seperti ombak di lautan. Saat itu, aku berkata dalam hati “Seperti ini kah bentuk surga itu?”.
Dilain waktu, pada musim hujan akhir bulan Desember, aku juga pernah terbang melintasi sebuah gurun pasir yang bagiku terlalu luas untuk diterbangi dan sangat tandus sampai sampai aku tidak sadar bahwa ketika itu sedang berlangsung musim hujan. Tidak ada satupun bunga yang aku temukan, kecuali buah Naga, buah yang konon katanya merupakan tanda cinta sang Raja Naga kepada permaisurinya. Aku memakannya hanya untuk melepas dahaga karena cuaca terlalu panas. Pasirnya yang putih bersih membuat mataku silau karena pantulan sinar matahari, sehingga membuatku terbang dengan mata yang menyusut. Dalam perjalanan tersebut aku melihat banyak sisa tulang belulang Bangsa manusia maupun Bangsa binatang mamalia, karena terlalu panas dan tandus. Bahkan saking panasnya, aku melihat beberapa bangkai Burung Bangkai dan Ular derik yang telah mengering hingga hampir membentuk sebuah fosil. Apabila kamu ingin bertanya mengapa aku bisa bertahan hidup ketika itu, maka aku akan menjawab, aku terbang ketika malam dan aku masuk ke dalam badai pasir ketika siang, yang secara otomatis membuatku semakin cepat melewati gurun pasir yang tandus itu. Aku benar-benar kapok melewati tempat tersebut, dalam hati aku berkata “Seperti itu kah bentuk neraka itu?”.
***
Sekarang hari sudah mulai siang, matahari tepat di atasku, Madu Pelangiku pun juga sudah habis empat tetes, sisanya aku simpan di dalam sebuah guci keramik peninggalan temanku dari Bangsa Laba-laba. Aku akan bersiap untuk terbang-terbang atau dalam bahasa manusia disebut jalan-jalan, menuju sebuah taman di pinggiran kota, taman yang ditumbuhi aneka ragam bunga, tanaman dan ikan-ikan koi yang asyik berenang di dalam kolam bulat berdiameter tujuh meter.
Aku melihat ada tiga gasebu semi permanent yang terbuat dari bambu. Gasebu pertama diisi oleh seekor kucing jantan coklat yang sedang terlelap, gasebu kedua diisi oleh seorang ayah dan anak laki-lakinya yang masih kecil sedang bercakap-cakap sambil menikmati es krim vanila, gasebu ketiga diisi oleh gadis cantik yang sedang menyendiri sambil memegang sebuah buku berwarna coklat berukuran A4.
Sembari menghisap madu pada bunga Sepatu berwarna merah, aku sedikit menguping pembicaraan seorang ayah dan anak laki-lakinya yang berada di gasebu kedua. “Yah... apakah surga itu masih tersedia untuk kita? Surga yang kata ibu guruku berada di telapak kaki ibu. Sedangkan, ibu telah meninggalkan kita sejak lima tahun yang lalu ketika aku berusia tujuh tahun.” Tanya si anak dengan rasa keingin tahuannya. “Tentu saja surga selalu tersedia untuk kita nak.. Sekarang ibu sudah duluan berada di surga tersebut, ibu sedang menyiapkan rumah untuk kita bisa bersama sama lagi disana.” Jawab si ayah sembari menatap awan. “Yeee.... pasti sekarang ibu sedang membuat perpustakaan raksasa seperti yang aku cita-citakan.” Kata si anak dengan nada gembira. “Iya.. Tapi ingat nak... selama ibu membuat perpustakaan tersebut, kita harus tetap mendo’akan ibu.” Si ayah mencoba memberi pengertian. “Kenapa kita harus mendo’akan ibu Yah?” Tanya si anak yang kebingungan. “Agar ibu tau dan dengar, bahwa kita di Bumi ini juga sedang berjuang, berjuang untuk bisa menyusulnya.” Jawaban si ayah dengan penuh keyakinan. “Ayo kita berjuang!” Kata si anak yang tiba-tiba berdiri sambil menghormat menghadap langit.
Begitulah percakapan mereka yang aku dengar, yang sekaligus juga menakutkanku, karena setelah itu anak kecil tersebut mencoba mengejarku. Kemudian aku terbang menjauh untuk mencari aman, mendekati bunga Matahari di dekat gasebu ketiga, disitu aku melihat seorang gadis beparas manis, dengan mata indah yang pandangannya kosong, dengan kulit berwarna sawo matang, dengan kepala yang dibalut kain kerudung bermotif taman alias bunga-bunga, dengan baju gamis berwarna coklat yang tidak bisa aku lihat lekuk tubuhnya. Aku mencoba terbang lebih dekat untuk melihat buku apa yang sedang ia pegang, buku besar berukuran A4 dengan sampulnya yang berwarna coklat. Dengan perlahan ia membuka lembaran-lembaran bukunya sampai halaman empat, setelah kuhitung. Herannya, aku tidak menemukan satu kata pun pada lembaran-lembaran buku tersebut. Jari-jari lentiknya mulai meraba-raba permukaan kertas putih polos pada halaman empat di buku tersebut, wajahnya terlihat sedikit tersenyum, menampakkan gigi serinya yang begitu rapih. Setelah aku dekati, ternyata di dalam lembaran kertas putih tersebut memiliki motif lingkaran–lingkaran kecil yang dibuat timbul. Aku menggambar motif tersebut agar aku tidak lupa.


Aku sedikit heran, mengapa hanya dengan meraba–rabakan jari pada lembaran kertas yang bermotif lingkaran kecil-kecil tersebut, bisa membuatnya tersenyum.
Matahari telah menunjukan jingganya, satu per satu makhluk hidup yang berkeliaran di taman mulai berangsur pergi. Menyisakan aku dan bunga-bunga. Sementara itu, barisan lampu taman mulai menyala. Mencahayai bunga-bunga yang sedari tadi aku hisap sari madunya. Tak lama kemudian, sekumpulan Laron datang entah dari mana, mendekati lampu untuk sekadar terbang-terbang. Jumlahnya terlalu banyak untuk kuhitung. Aku ikut bergabung dengan mereka, terbang dan menari di dalam cahaya yang kekuning-kuningan. Seolah olah tak ada lagi beban di dalam pikiranku. Dari kejauhan aku melihat 7 ekor burung gagak sedang mengintai kami dari kejauhan, tapi aku tak peduli.

***

Jogja, Juni 2015

Kamis, 25 Juni 2015

#1 TRILOGY DIARY

CATATAN AKHIR SEMUT


Sebuah Cerpen Fiksi Pertama Tentang Semut

Inilah aku, miniatur kecil yang sedang menjalani kehidupan di bumi yang bagiku sangat lah luas, yang saking luasnya sampai-sampai aku tidak percaya bahwa bentuknya bulat. Malam ini ditempatku anginnya terasa begitu sepoi-sepoi melewati tubuh mungilku, membuat aku semakin yakin bahwa angin ada karena bumi yang sedang berputar. Ya.. Disini lah aku, Bumi. Bersama triliyunan saudaraku yang keseluruhannya dikenal sebagai sosok yang sopan, rajin dan pekerja keras.
Pohon mangga, 13 April 1990. Menjadi hari kelahiranku, aku menetas dari salah satu butiran telur yang jumlahnya mencapai ratusan. Telur yang setelah beberapa hari dijaga oleh ibuku dengan setia. Aku menetas dengan wujud seekor semut mungil berwarna hitam. Aku menjadi bayi semut yang paling pertama menetas, yang kemudian disusul oleh ratusan saudara-saudaraku yang lain secara berurutan. Tujuh menit berselang, keadaan di sarang menjadi begitu ramai riuh, kami mencoba bergerak kesana kemari, keheranan dengan apa yang kami lihat untuk pertama kalinya. Lalu aku peluk sosok ibuku dengat erat-erat, aku ciumi kedua tangannya, kusujudkan kepalaku pada keempat kakinya. Dengan perasaan linglung, aku berkata pada ibuku: “Ibuku sayang, sebelum kau melupakan wajahku dan sebelum aku melupakan wajahmu, ijinkan aku tuk mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepadamu yang telah menetaskan kami semua. Ini merupakan anugerah terbesar dalam sejarah hidup kami, kami telah diberi kesempatan untuk hidup di dunia ini, di bumi.” Ibu tak mampu berkata-kata mendengar perkataanku, beliau hanya memeluku sambil menangis, itu adalah sebuah pelukan terhangat yang pernah aku rasakan. Dengan sedikit tersenyum, beliau menatap tajam mataku, lalu bebisik, “Selamat datang di Dunia nak..”. Kata kata itu selalu kuingat.
Seiring berjalannya waktu, kami pun tumbuh menjadi anak-anak semut (Semut ABG) yang riang dan gembira. Sebagai kakak pertama, aku diberi hak untuk memimpin adik-adiku yang jumlahnya mungkin ratusan, aku tak pernah menghitungnya. Masa kecil kami tersebut, banyak dihabiskan dengan bermain permainan perang-perangan, pohon mangga tempat tinggal kami merupakan tempat yang sangat menyenangkan untuk bermain. Batang pohonnya yang bertekstur sangat cocok untuk bersembunyi ketika bermain perang-perangan, lalu kemudian bergerilya. Permainan perang-perangan memang menjadi permainan favorit kami, karena sangat tidak mungkin jika kami memainkan permainan petak umpet, kalian tau sendiri lah. Kami semua kembar identik hingga ratusan jumlahnya, sampai sampai, aku sendiri sebagai kakak tertua tidak bisa membedakan mana yang bernama Sugara dan mana yang bernama Sugari.
Waktu yang terus berjalan, telah membawa kami pada masa kedewasaan. Sebagai binatang, aku sadar bahwa aku dan saudaraku pasti mengalami pertumbuhan, kepalaku yang dulu mungil kini mulai membesar, otomatis otakku juga ikut membesar, tetapi aku merasa pikiranku tidak bertumbuh. Bahkan pohon mangga tempat kami tinggal, sudah tiga kali berbuah saat musim hujan.
***
 Malam ini adalah malam yang dingin dengan langit yang berhias bintang-bintang dan satu buah bulan, aku merebahkan tubuhku disalah satu ranting untuk bermalas-malasan sambil menikmati potongan kecil kue brownies yang aku curi dari warung makan diseberang barat pohon manggaku. Kulihat ada sepasang manusia remaja yang sedang asyik merayakan tahun baru 1995 dengan bebakaran ikan guramih dan jagung. Hmm... membuatku sejenak terdiam beberapa menit sambil menyimak. Kegembiraan terpancar jelas di wajah mereka, salah satu dari mereka yaitu yang laki-laki berkata “Sayangku.. malam ini hanya ada kita berdua di halaman belakang rumah ayahku. Aku ingin sekali merasakan nikmatnya surga dunia bersamamu sayang, selagi tak ada yang melihat, hanya kita berdua saja.” Dan sialnya, perempuan itu menganggukan kepala sembari tersenyum sebagai isyarat bahwa ia setuju. Aku pun ikut tersenyum, lalu kembali kunikmati potongan kue browniesku yang telah menunggu untuk dimakan sambil menyambut datangnya hari baru, bulan baru dan tahun baru. Sekilas, bintang-bintang di langit membentuk aneka titik-titik bagaikan ribuan semut yang bercahaya. Aku kembali pandangi api yang menari-nari di bawahku yang kemudian membuatku mengantuk sampai aku ketiduran.
Aku terbangun pagi hari diawal tahun 1995, udaranya begitu lembab dan dingin karena gerimis. Aku melihat kebawah dan mulai turun. Aku melihat api telah berubah menjadi abu, sampah-sampah berserakan, sepasang remaja itu pun juga telah pergi. Para saudara dan teman-teman dari Bangsaku sudah mulai berkumpul di area tersebut untuk berpesta, iya.. berpesta, karena ada banyak sekali sisa-sisa makanan dan minuman kesukaan Bangsa semut. Aku mengkomandoni mereka untuk mengambil semuanya yang mereka sukai asalkan jangan saling berebut. Ternyata ada satu saudaraku yang kelakuannya membuat aku sempat tertawa, aku melihat saudaraku itu sedang sibuk menjilati cairan kuning yang menempel di sebuah alat kontrasepsi kepunyaan manusia, terlihat dari ekspresi wajahnya, ia terlihat gembira sekali sambil berkata padaku “Enak... rasa durian bro.” Hahaha... dasar semut bodoh, tidak pernah melihat dunia luar, padahal ia tidak tahu bahwa sesungguhnya rasa strawberry jauh lebih enak.
Kemudian setelah semuanya selesai, aku pun menyuruh mereka untuk segera pulang, sebelum hujan deras mengguyur karena sepertinya langit mulai berwarna keabu-abuan. Seperti biasa, kami berjalan dengan berurutan menuju rumah.
***
Waktu terus berjalan dan tak bisa dihentikan, kini aku telah berada di tanggal 14 April 1995, dimana aku telah berumur 5 tahun. Aku merasa jauh lebih tinggi dari sebelumnya, kepalaku pun mulai sudah lebih besar dari sebelumnya dan tetap saja pikiranku tetap tidak meluas. Di ulang tahunku yang ke 5 ini, aku berharap sekali ibuku datang untuk memeluku, tetapi nyatanya memang tidak. Beliau telah lama pergi, bukan hanya meninggalkanku dan saudara-saudaraku, tetapi juga meninggalkan bumi ini. Aku sudah dewasa, aku sudah besar, sesungguhnya aku sudah tidak membutuhkan pelukan ibuku, kini ibukulah yang membutuhkan do’a dariku sebagai tanda terimakasihku kepadanya. “Aku merindukanmu ibu.”
Sebagai seekor semut yang telah tumbuh besar walaupun tidak akan mungkin melebihi besarnya manusia, aku kini sudah bisa mengangkat beban yang beratnya 25 kali lebih berat dari tubuhku. Kadang aku berfikir, Bangsa semut adalah Bangsa yang terkuat. Dalam berkehidupan, kami selalu bergotong royong dalam aktivitas membawa makanan, agar dapat terselesaikan dengan cepat, karena kami sadar, kami sangatlah kecil. Kami juga saling berjabat tangan ketika berpapasan dengan teman-teman di jalan, karena kami sadar, kami memiliki tangan. Sembari berjabat tangan, kami serentak berkata “Semangat”, sebagai tanda ucapan salam kami. Bangsa semut meyakini bahwa kata semangat bisa memberi kekuatan pikiran pada setiap individu untuk tetap bertahan dan semangat dalam menjalani hidup ini.
Bulan April yang panas dan kering ini membuat aku menjadi sibuk, sibuk bermalas malasan sambil menikmati manisan mangga muda segar yang dibuatkan oleh semut-semut betina sebagai hadiah ulang tahunku. Cukup sederhana untuk membuatku bergembira. Angin berhembus sedikit kencang ke arah barat sebagai tanda bahwa bumi ini sedang berputar, hembusannya membuat dedaunan yang kering berjatuhan menyamping. Alhamdulillah, aku tidak ikut jatuh, aku kuat.
***
Awal bulan Mei 1995, menjadi sejarah bagi Bangsaku di Republik Pohon Mangga. Ketentraman kami diusik oleh kedatangan ratusan ulat bulu. Ternyata angin sepoi-sepoi yang kunikmati kemarin dibulan April membawa serta telur-telur ulat bulu, Arrgh... Mereka menyerang Bangsa semut, hampir seluruh penjuru pohon mangga berhasil dikuasai mereka. Selain kalah fisik, kami juga jelas kalah ukuran, tubuhnya yang besar dan terlindung oleh bulu-bulu yang lebat membuat kami kualahan, sehingga satu persatu rakyatku berguguran akibat terkena racun yang terkandung di ujung bulu-bulu mereka. Bahkan untuk menumbangkan 1 ekor ulat bulu saja kami harus mengeroyoknya dengan bantuan puluhan pasukan secara bersamaan.
Hari demi hari keadaan kami makin memburuk, sedih dan was-was selalu hadir di dalam pikiran, betapa tidak, kehidupan kami benar-benar sudah di ujung tanduk, jumlah kami pun mulai berkurang, sesungguhnya aku membutuhkan pasukan yang lebih banyak lagi, karena aku yakin dengan jumlah kami yang semakin banyak maka pertahanan kami pun juga akan semakin kuat. Sehingga aku memerintahkan para temanku yang jantan dan yang betina untuk saling berhubungan badan, tujuannya agar saling berkembangbiak, sehingga jumlah kami akan bertambah. Entah kenapa, para temanku yang tadinya berwajah suram tampak menjadi sumringah setelah mendengar ideku tersebut.
Setelah 1 minggu berjalan, akhirnya para betina mulai mengeluarkan telur-telurnya, sedangkan para jantan sibuk mengawasi keadaan sekitar. Disaat ketegangan melanda di dalam diri mereka, aku mengajak seluruh pasukanku untuk menonton film-film yang bertemakan perang dan action, ini dimaksudkan agar mental mereka terpacu, terinspirasi dan terdoktrin, sehingga mereka menjadi lebih semangat dan berani dalam berperang.
Setelah 14 hari berlalu, seluruh telur telah menetas dan bertumbuh. Kini jumlah kami luar biasa banyak, mereka (jantan) yang sudah beranjak remaja mulai dilatih cara berperang oleh komandan pasukan. Sebagiannya lagi sibuk membuat senjata yang terbuat dari duri pohon kaktus sepanjang 3 cm yang diberi pegangan kecil berjumlah 4. Konon, duri kaktus dapat menembus perut ulat bulu. Kemudian para betinanya sibuk dengan kegiatan konsumsi.
Sekarang kami benar-benar siap untuk berperang demi harkat dan martabat Bangsa Semut di Republik Pohon Mangga ini. Kami bersiap dengan membentuk barisan yang nampak padat namun kurang rapih, yang berjumlah hampir 21.000 pasukan semut. Gemuruh benar-benar terdengar saat kami berjalan sambil menghentakan kaki. Pedang sudah kami tajamkan, Jubah sudah kami kenakan, Jebakan sudah kami pasangkan, dan Do’a juga sudah kami panjatkan di dalam hati masing-masing. “Semoga Tuhan berada di pihak kita.” Ucapku pada pasukanku. “Kalau Tuhan berada di pihak kita. Lantas, siapa yang berada di pihak musuh?” Pertanyaan salah satu pasukanku yang merasa kebingungan.
Kami berjalan beriringan bermeter-meter jauhnya, menuju lokasi sarang ulat bulu tersebut. Sepanjang perjalanan kami menemukan banyak mayat saudara-saudaraku yang telah membusuk, sungguh aku benar-benar benci dengan pemandangan seperti ini. Seakan-akan nyawa ini tidak ada artinya. Perang ini harus segera diselesaikan agar tidak berlangsung terus menerus hingga ke anak cucuku kelak. Selain itu, banyak pula sisa-sisa bulu yang beterbangan di udara yang sudah hilang kandungan racunnya. Setelah 1 jam berjalan, akhirnya sampailah kami di medan perang, sarang ulat bulu.
Aku sedikit kecewa dengan kejadian ini, disaat kami telah benar-benar siap, entah kenapa meraka justru menghilang. Sarang yang beberapa hari lalu ramai dan padat oleh pasukan ulat bulu kini hanya tinggal bulu-bulunya saja. Aku khawatir kalau ini adalah sebuah jebakan, lalu aku mengkomandokan 27 pasukanku untuk menyisir seluruh seluk beluk sarang tersebut. 1 jam kemudian salah satu dari pasukanku menemukan serbuk lembut berwarna putih disalah satu bangsal yang ditinggali pasukan ulat bulu. Dan memang benar, serbuk itu berwarna putih, aku belum pernah melihat benda seperti itu sebelumnya. Membuat kami semakin bingung, apa yang sebenarnya telah terjadi. Setelah ditelusuri, ceceran serbuk putih itu mengarah ke suatu tempat yang kemudian kami ikuti kemana arahnya, aku yakin ceceran serbuk ini menuju ke tempat persembunyian ulat bulu. Sambil berhati-hati, kami terus menelusuri.
Setelah berjalan beberapa meter melewati ranting-ranting, kami dikejutkan oleh sosok gumpalan-gumpalan putih yang bergerak-gerak dan menggantung di bawah dedaunan pohon mangga yang jumlahnya hampir ratusan. Melihat kejadian itu, kami berlarian pontang-panting karena ketakutan. Kami takut pada sesuatu yang sama sekali belum pernah kami lihat sebelumnya, apalagi dengan bentuk yang aneh seperti itu.
Setengah jam kemudian kami berkumpul kembali, membicarakan rencana apa yang harus kami lakukan. Semangat yang tadinya menggelora, seketika melebur bersamaan dengan teriknya panas matahari. Sembari berkumpul, aku mengatakan pada seluruh pasukanku untuk tetap tenang dan selalu waspada. Aku meyakinkan pasukanku bahwa sebenarnya gumpalan-gumpalan putih itu berisi ulat-ulat bulu yang sedang tidur panjang dimusim kemarau. Sesungguhnya akupun juga tidak tahu menahu apa yang ada di dalam gumpalan-gumpalan putih tersebut, aku hanya ingin pasukanku untuk tetap tenang dan terkendali sehingga tidak terpecah belah. Kemudian ide cemerlang muncul dari perutku, untuk melakukan penyerangan 3 hari kemudian.
Wahai kawan-kawanku... Ayo kita serang gumpalan putih itu! Buat tidur panjang mereka menjadi tidur selamanya..!!!” Teriaku pada pasukanku dihari H. Kami berjalan berurutan melewati ranting-ranting pohon, mendekati gumpalan putih tersebut. Sialnya, seluruh gumpalan putih tersebut bergerak dan berayun-ayun, sehingga membuat pasukanku menempel dikulit gumpalan putih tersebut. Entah terbuat dari apa gumpalan putih tersebut hingga membuat tubuh kami tidak berkutik karena saking lengketnya. Lagi-lagi kami dibuatnya bingung tak berdaya. Setelah beberapa menit kemudian, gumpalan putih tersebut telah tertempel tubuh pasukan semutku. Yang membuat kami lebih panik lagi adalah kulit gumpalan putih tersebut mengelupas dan keluarlah sosok binatang yang bersayap warna-warni. Para manusia menyebutnya sebagai Kupu-kupu. Beberapa saat kemudian seluruh gumpalan putih tersebut telah terkelupas dan ratusan kupu-kupu mulai beterbangan disekitar kami. Mereka memperhatikan kami yang sedang keheranan, lalu mereka terbang menjauh, meninggalkan pohon mangga kami dengan tanpa pesan sedikitpun.
Sejenak aku berfikir, apakah perang ini sudah berakhir? Jika iya, maka kami akan sangat-sangat bersyukur. Ternyata memang benar, perang ini telah berakhir, tak peduli tentang berubahnya Bangsa ulat menjadi Bangsa kupu-kupu yang kemudian terbang menghilang tanpa pesan, intinya kini Bangsa semut telah kembali tentram seperti dahulu. Kami pun kembali ke sarang kami dengan menyanyikan lagu kebangsaan kami “Jayalah Semut”.
Malam ini keadaan begitu riuh, bukan riuh oleh tangisan seperti hari-hari kemarin, tetapi riuh karena nyanyian kegembiraan Bangsa semut yang sedang merayakan pesta kemenangan. Aku pandangi mereka dari kejauhan, karena saat ini aku sedang duduk menyendiri untuk tetap tenang. Terlebih lagi bulan sabit malam ini seolah-olah tersenyum kepadaku, sayang jika dilewatkan. Menambah semangatku juga dalam menuliskan perjalanan hidupku pada sebuah buku mungil ini.  Sembari menulis, dan memandang bulan, aku teguk sedikit demi sedikit sebotol minuman rasa jeruk ini, minuman yang aku curi dari dalam garasi rumah diseberang selatan pohon manggaku. Dengan pandangan yang sedikit berkunang-kunang, aku melihat ada 12 bulan sabit di langit dan ribuan bintang kecil yang tiba-tiba berjatuhan menancap di dadaku. Menggetarkan seluruh tubuhku dari antena hingga ujung kaki. Rasanya dingin tetapi sangat menyakitkan. Oh.. sial.. aku mencoba membaca tulisan yang ada di botol minumanku, “Racun Serangga rasa jeruk”, Oh.. Ibu.. maafkan aku, kebiasaanku mencuri makanan tak bisa hilang, bahkan ketika aku sedang bersyukur kepadamu dan kepada-Nya.

***

Jogja, Juni 2015