Rabu, 08 Juli 2015

#3 TRILOGY DIARY

CATATAN AKHIR GAGAK


Sebuah Cerpen Fiksi Terakhir Tentang Burung Gagak

Sungguh malam yang mengenyangkan dan menyenangkan untukku. Bagaimana tidak, puluhan serangga Laron berhasil aku santap setelah 30 hari lamanya berpuasa karena kemarau panjang, yang lebih menggembirakan lagi untukku yaitu makanan penutupnya, seekor kupu-kupu jantan besar yang kebetulan mengantongi cairan madu. Hmm... manisnya terasa hingga kerongkonganku. Memang malam ini berbeda dengan malam-malam kemarin, hawa yang dingin mungkin membuat Bangsa Laron berhijrah dari tempat persembunyiannya yang panas menuju taman yang dingin dan lembab. Terlihat sayap-sayap Laron bertaburan di atas taman, mengotori bunga – bunga dan rerumputan. Aku bergegas pergi, urusanku dengan Bangsa Laron telah usai.

Tepat disayap kananku, aku memegang sebuah buku tulis usang berisi catatan pribadi yang ditulis oleh seekor semut dan kupu-kupu. Buku ini mirip seperti sebuah buku diary. Aku merampasnya sebelum aku memakan kupu-kupu yang tadi. Sepertinya akan menarik jika aku ikut berpartisipasi dalam menulis pengalaman sehari-hariku, tapi harus aku tulis secara diam-diam, jangan sampai ketahuan teman-temanku. Aku tak mau jika temanku mengetahui aku yang seekor Gagak ini, menulis sebuah buku diary, pasti celotehan ejekan mereka pecah ditelingaku. Aku tak mau. Ini harus rahasia.

Aku mulai menulis. Aku adalah seekor Burung Gagak. Sebagai Gagak hitam jantan, malam adalah duniaku, waktu dimana aku beraktifitas. Bermain, belajar, makan, minum dan bersantai. Manusia menyebutku sebagai binatang Noktural. Sebetulnya selain aku, masih banyak binatang lain yang juga sama-sama beraktifitas dimalam hari: Kelelawar, Burung Hantu, Kucing dll. Walaupun sama-sama Noktural, kami tak pernah saling sapa ketika berpapasan. Karena setiap binatang Noktural, memegang teguh egonya masing-masing. Sama-sama ingin tampil sebagai penguasa malam, ingin menjadi rajanya malam. Tapi, aku tak peduli. Bagiku, Bangsa Gagak lah yang lebih pantas disebut rajanya malam dan Bangsa Gagak lah yang lebih patut dihormati. Meskipun memang burung Hantu nampak lebih karismatik, lebih berwibawa, namun ia tak memiliki sisi Magis di dalam dirinya, ia tak lebih dari sekadar burung biasa. Sedangkan aku, aku memiliki cerita tentang sebuah kutukan, kutukan yang sudah ada sejak dari jaman nenek moyangku. Rupa-rupanya seluruh Gagak telah dikutuk bahkan sebelum Gagak - gagak tersebut ditetaskan dari telurnya. Gagak banyak dikaitkan dengan binatang pembawa kematian. Konon, setiap rumah-rumah yang dihinggapi oleh seekor Gagak pada malam hari, maka keesokan harinya akan ada kabar duka tentang kematian salah satu anggota keluarga di rumah tersebut. Mungkin cerita itu lah yang membuat Bangsa Gagak berbeda dengan Noktural lainnya.

Kini aku tinggal disebuah pohon Kamboja besar di kawasan makam tua yang sunyi dan gelap. Gelap ketika malam atau pun siang, karena makam tersebut ditumbuhi banyak pohon besar dan juga semak semak liar yang tak terurus, sehingga hanya sedikit cahaya matahari yang mampu menyentuh tanah, udaranya pun terasa begitu lembab. Sangat cocok untuk tidur siang dan bermimpi hingga malam tiba.
*
Aku terbangun dari tidurku dengan tiba-tiba, membuat kepalaku sedikit pusing, gara-gara mimpiku barusan, aku tarik ulur nafasku perlahan untuk menormalkan detak jantungku. Kulihat, malam telah datang membawa serta kesunyiannya. Aku benar-benar terkejut, untuk pertama kalinya dalam sejarah hidupku, aku mendapatkan mimpi yang ter-amat aneh. Lekas aku cepat-cepat mengambil buku diary untuk segera aku tulis mimpiku, sebelum aku lupa karena ini penting:

Terdengar olehku suara ayam jantan berkokok disamping kamarku, hangatnya cahaya matahari menembus kaca jendela menyentuh kulit wajahku, menandakan bahwa pagi telah datang. Lekas aku bangun dari tidurku, lalu mulai membuka mata. Tapi tak ada satu pun yang dapat aku lihat, aku yakin benar aku telah membuka mataku, tapi tetap saja aku tak melihat apa-apa. Aku merasa takut, gelisah sekaligus khawatir. Apa yang sesungguhnya sedang aku alami? Ketakutanku berbuah tangisan, yang kemudian aku sadari bahwa itu suara tangisan seorang manusia wanita. Ya.. ternyata aku terbangun sebagai seorang wanita tuna netra.

Dan entah kenapa, didalam mimpiku aku berperan sebagai seorang wanita tuna netra, dan juga didalam mimpiku tersebut aku merasa seperti sudah terbiasa dengan keadaan tersebut, keadaan tak bisa melihat. Seakan-akan aku sudah buta belasan tahun. Apa yang dilakukan wanita itu pun, aku benar-benar turut merasakannya dan juga benar-benar detail. Aku lanjutkan kembali cerita mimpiku yang sebagai seorang wanita itu selagi aku masih ingat:

Pada suatu siang yang cerah, di dalam rumah aku berhias diri, memakai kerudung dan berbaju gamis, menenteng tas berisi buku catatan dan dompet kecil, bersiap menuju taman bunga. Aku berjalan perlahan menuju taman bunga yang letaknya di pertengahan kota tidak jauh dari tempat tinggalku, sebuah taman yang biasa digunakan oleh masyarakat untuk bermain, berkumpul dan belajar, nah.. niatku adalah untuk belajar. Aku sudah biasa belajar disana, karena suasananya begitu nyaman, banyak aneka macam suara, mulai dari suara angin, tawa, tangis, gurauan, kicauan burung, gemericik air, dll. Sehingga dapat menghilangkan kesunyianku, ditambah lagi terdapat beberapa gasebu.

Berkali-kali aku lewati jalan ini, membuatku hafal rutenya. Dalam perjalanan, aku memasuki sebuah gang yang jalannya kutahu terbuat dari susunan paving tanpa rumput, tanpa banyak dilewati kendaraan bermotor juga. Seperti biasa bau kue pukis mulai menyambangi hidungku. Hmm... baunya seakan memberi ucapan “Selamat Datang, Anda Sedang Melawati Rumah Produksi Kue Pukis H. Acong”, pemiliknya adalah seorang mualaf. Terdengar beberapa anak kecil berlarian dibelakangku sambil menggiring bola plastik yang sepertinya sudah kempes. Terdengar pula kicauan aneka macam burung yang bisa kutebak, burung-burung tersebut berkicau di dalam sangkar. Beberapa meter setelah itu, seorang ibu-ibu yang jelas kukenal orangnya menyapaku dengan ramah “Eh.. neng Ely, cantik sekali hari ini. Tumben. Mau kemana siang-siang begini?”. “Ah.. ibu Endang nih, bisa aja. Biasa, bu.. Mau ke taman” Jawabku sambil tersenyum. “Belajar lagi?” Tanyanya lagi. “Iya..bu..” Jawabku. “Yasudah.. hati-hati di jalan ya neng.. selamat belajar” Pesan ibu itu. “Iya...bu..terimakasih” Jawabku sambil mengangguk. Lalu aku kembali melanjutkan jalan sambil tersnyum-senyum sendiri, kepikiran ucapan ibu Endang tadi “Benarkah aku ini cantik? Hmmmh”, Tetapi yang terpenting adalah pesan kedua dari ibu Endang, hati-hati dijalan. Aku telah sampai pada ujung gang. Bertemu sebuah jalan aspal yang banyak dilalui kendaraan bermotor dari sisi kanan dan kiri, sesekali terdengar suara klakson.

Aku hentikan sejenak tulisan mimpiku, sayapku terasa sedikit semutan karena terlalu bersemangat campur gelisah. Aku sempatkan membuat secangkir kopi panas untuk sedikit menenangkan pikiran. Setelah pikiranku sedikit tenang, aku teringat pada sebuah taman bunga yang kemarin aku datangi ketika menyerbu bangsa Laron, ya.. memang disana terdapat aneka macam bunga dan beberapa gasebu, persis seperti lokasi taman bunga yang ada di alam mimpiku. Lekas, Aku boyong kopiku dan buku diary ini kesana, aku akan menulis disana saja.

Beberapa menit kemudian, aku telah sampai di taman bunga yang gelap karena lampu tamannya hanya mampu menerangi sekitaran pintu masuknya. Aku duduk manis disalah satu atap gasebu. Terimakasihku ku ucapkan kepada sang purnama yang telah memberikan sedikit cahayanya sehingga memudahkanku dalam menulis. Suasananya begitu sunyi, karena waktu telah menunjukkan pukul 23.00. Dan langsung saja kulanjutkan lagi cerita mimpiku:

Aku berjalan lagi ke arah kanan, perlahan aku melewati trotoar yang kurasakan permukaannya tak beraturan, aku mewaspadai tiap langkahku kalau-kalau ada lubang atau bebatuan yang menyembul. Terdengar aneka ragam suara disekitarku. Aku tetap fokus pada langkahku selama beberapa menit. Dan akhirnya sampailah aku tepat didepan pintu masuk taman bunga. Gerbangnya berbentuk sebuah gapura yang bertuliskan “Taman Firdaus” Kata orang-orang. Tepat di pintu masuk, kudengar bunyi musik “teloleet.. teloleet.. telolelolelooot..” Hmm.. khas sekali bunyinya. “Pak.. Es krim Conelisnya dua yaa..” Kataku pada si bapak penjual es krim. “Yang rasa apa non?” Tanya si bapak. “Mm... Mocca sama Coklat” Jawabku. “Okee.. ini non” Kata si bapak. Lalu aku membuka dompet dan meraba raba uangku, kemudian kubayar.

Aku terbang sejenak menuju gapura, untuk memastikan apakah benar taman ini bernama Taman Firdaus. Alangkah ajaibnya mimpiku, dan ternyata benar! Taman ini bernama Taman Firdaus. Aku kembali duduk di atap gasebu dan melanjutkan menulis:

Aku melangkah di jalan kecil berkelok kelok yang dibuat dari susunan batu paving, sisi kanan dan kirinya dibatasi oleh rerumputan setinggi betisku. Aroma bunga mulai tercium semerbak di hidungku. Beberapa anak dan orang tua terdengar sedang bercakap-cakap disebelah kananku, tapi agak jauh. Aku berjalan terus sambil meraba raba bunga dipinggiran. Terdengar dari arah sebelah kiri, suara laki-laki memanggil dengan nada yang lantang “Ely... Aku disini! Di Gasebo ketiga”. Nah.. itu dia, si Adam. Aku bergegas menuju ke arahnya. Adam itu sahabat terbaikku sekaligus guruku, ia 2 tahun lebih tua dariku. “Maaf ya Dam.. sudah lama menunggu yah?” Tanyaku sambil menggaruk garuk kepala yang tidak gatal. “Iya nih.. sampai ngantuk” Kata si Adam. “Maaf deeh.. ni kubelikan es Krim Conelis Mocca kesukaanmu” Rayuku kepadanya supaya reda marahnya. “Waaah... ini nih.. cocok! gak jadi marah deh..” Katanya sambil tertawa.

Setelah kami menghabiskan es krim dan membuang sampahnya di tempat sampah, ia sempat memujiku dan berkata “Tak seperti biasanya El, kamu nampak lebih cantik, Motif kerudungmu yang bunga-bunga itu seakan akan membaur dengan lingkungan sekitar yang juga dipenuhi bunga-bunga. Ditambah lagi gamismu yang berwarna coklat seakan akan kesatuan dari tangkai-tangkai bunga yang terikat, sejak kamu berjalan masuk ke taman, aku tak bisa membedakan, mana yang bunga dan mana yang kamu”.

Hahahaha.... aku sempatkan tertawa sejenak mengingat gombalan kuno dari si Adam. Ya.. bagiku itu memang gombalan kuno. Tapi lain lagi bagi aku yang sedang di dalam diri Ely:

Aku kaget mendengar kata-kata Adam, entah malu atau senang, aku bingung mengekspresikannya pada wajahku. Yang bisa kulakukan hanyalah mencubit lengannya. Ia pun berteriak kesakitan sambil tertawa.

Seperti biasa, aku mulai membuka tas dan mengeluarkan buku, buku tebal berukuran A4 dengan cover berwarna coklat. Berisi catatan-catatan cerpenku yang diketik menggunakan huruf Braille yang selama ini sudah diajarkan Adam kepadaku. Cita-citaku sejak kecil ingin menjadi seorang penulis, apa daya keadaan memaksaku tak bisa menulis, disinilah peran Adam sangat penting dalam usahaku mewujudkan cita-citaku. Betapa Agungnya Engaku Tuhan, telah ciptakan Adam untuk diriku sebagai sahabat terbaik, aku bersyukur padaMu. Disisi lain, Adam telah siap dengan mesin ketiknya, yang katanya keyword mesinnya telah dimodif menjadi huruf Braille.

Rencananya, siang ini aku akan merampungkan cerpenku, nantinya akan ada 3 cerpen yang aku buat. Cerita 1 dan 2 telah selesai, aku sendiri yang mengetiknya dengan dipandu oleh Adam. Tinggal cerita yang ke-3 yang belum. Keseluruhan tokoh dalam ceritaku adalah binatang, mirip seperti Fabel, dimana binatang bisa bicara, menulis dan berfikir layaknya manusia. Cerpen ke-1 menceritakan tentang kehidupan dan kematian seekor Semut yang kuberi judul “Catatan Akhir Semut”. Cerpen ke-2 menceritakan tentang kehidupan dan juga kematian seekor Kupu-kupu yang kuberi judul “Catatan Akhir Kupu”. Dan Cerpen terakhir menceritakan tentang...

Tepat di atas gapura Taman Firdaus tiba-tiba menclok seekor burung Hantu putih dengan matanya yang besar berwarna hitam, aku sempat kaget dibuatnya. Aku hentikan sejenak tulisanku, mataku kutujukan pada burung Hantu tersebut, aku pantau terus gerak geriknya agar aku tetap waspada, kalau-kalau ia ingin menyerangku. Beberapa detik kemudian, burung Hantu tersebut kembali terbang, menjauh dan akhirnya hilang dari pandanganku. Aku mulai kembali ceritaku:

Pada Cerpen terakhir, aku menceritakan tentang kehidupan dan sekaligus kematian seekor Burung Gagak yang masih dalam proses pengerjaan, cerpen tersebut nantinya akan diberi judul “Catatan Akhir Gagak”.

Disini aku mulai curiga, kenapa harus gagak? Aku adalah gagak. Mungkinkah tokoh gagak yang ada pada cerpen terakhirnya itu terinspirasi dari aku? Mungkin juga. Kalau memang benar Ely terinspirasi dariku, aku patut berbangga.

Aku mulai mengetik huruf demi huruf dengan perlahan, tombol keyword mesin ketinya dibuat timbul untuk memudahkanku menemukan huruf-huruf yang sesuai sehingga mendapatkan tulisan kata yang tepat, dan tentunya menggunakan huruf Braille. Sementara itu, Adam yang sedang berada di sisi kiriku sibuk membaca naskah cerpen-cerpenku sambil sesekali tertawa. “Kenapa kamu tertawa? Ada yang lucu?” Tanyaku sedikit kesal. “Kamu tega El, masa semua tokohnya kamu buat mati diakhir cerita.. Hahaha..” Jawabnya. “Semua yang hidup, pasti akan mati kan Dam?” Jawabku dengan masih meraba raba tombol keyword. “Iya sih.. kamu benar El” Katanya sambil menepuk pundaku.

Tepat jam 3 sore akhirnya cerpen terakhirku selesai. Senang sekali rasanya, akhirnya setelah 12 tahun belajar membaca dan menulis, aku bisa menciptakan karya tulis ini seperti yang aku cita-citakan. Puji syukurku ku ucapkan kepada Tuhan yang telah memberi rahmat dan hidayah luar biasa-Nya. Tak lupa juga ku ucapkan terima kasihku pada Adam yang telah banyak membantuku. Atas saran si Adam, karya cerpen ini ku beri judul “Trilogy Diary”, Kumpulan 3 cerpen yang saling berhubungan namun masing-masing judul dapat berdiri sendiri, diketik menggunakan huruf Braille.

Sejenak aku pandangi langit hitam tepat di atasku, kulihat seekor gagak terbang berputar-putar mengeluarkan suara “Aarrrkkk... Aarrrkkk”, aku tak mengenalinya. Mungkin gagak dari desa sebelah yang sedang kelaparan mencari mangsa. Aku minum sedikit kopiku yang sudah mulai dingin. Kembali aku menulis:

Adam menjabat tanganku memberi ucapan selamat, akhirnya cita-citaku sebagai penulis terwujud juga. Betapa aku bahagianya, begitu juga dengan Adam. Namun, tiba-tiba dengan nada yang sedikit serius, Adam berkata “Ely.. sekali lagi aku ucapkan selamat padamu, karya tulismu telah selesai dengan baik, kelak kamu akan menjadi penulis yang handal, dan tercapai lah cita-citamu. Dengan selesainya karyamu, ku kira kamu sudah bisa belajar mandiri”. “Maksudmu apa Dam?” Tanyaku yang begitu penasaran.

Jantungku seakan berhenti berdetak, Letupan kebahagiaan berubah menjadi dengungan kesedihan. Setelah kudengar ia berkata tepat jam 5 sore nanti, ia akan hijrah ke Negeri Yunani, sebuah Negeri tertua di Dunia, selama 4 tahun untuk melanjutkan pendidikan S-2 nya. Ia memang pernah bercerita padaku bahwa ia ingin menggapai cita-citanya menjadi filsuf, karena katanya Negeri Yunani merupakan Negeri kelahiran para Filsuf barat yang tersohor di seluruh Dunia.

Keputusannya untuk meninggalkan Negeri ini sekaligus meninggalkanku tak bisa aku halang-halangi, cita-cita memang harus digapai. Aku telah meraih cita-citaku sebagai penulis, maka kini saatnya bagi Adam untuk menggapai cita-citanya sebagai filsuf. Air mataku tak bisa kutahan, mengalir dengan derasnya di pipiku, kurasakan belaian jarinya menyentuh pipiku, mengusap butiran air mata yang terus berjatuhan. “Tenang Ely... aku hanya pergi 4 tahun lamanya” Ucapnya sambil terus mengusap pipiku. “Setelah aku sampai disana, aku akan mengirimi surat padamu setiap bulan”. Ucapnya lagi. “Janji???” Kataku. “Janji..” Jawabnya sambil tersenyum.

Waktu menunjukan pukul 03.35, aku lepas kepergian Adam dengan tangisan, tak dapat kulihat perginya, yang kudengar hanyalah langkah kakinya yang perlahan menjauh dan perlahan tak lagi kudengar langkah kakinya.

Udara malam begitu dingin, semakin menambah dingin pula pena besiku. Kulihat lagi langit di atasku, nampak ada yang janggal. Kini ada 7 ekor gagak yang beterbangan tepat di atasku, lagi-lagi aku tak mengenalinya, aku begitu asing dengan wajah mereka dan entah apa yang sedang mereka lakukan, apakah mereka ingin menyerangku? Tapi aku merasa tak punya masalah dengan mereka. Setahuku, bangsa gagak tak pernah menyerang sesama gagak jika benar-benar tak ada suatu masalah. Aku lanjutkan kembali tulasanku sambil tetap mewaspadai mereka:

Kini aku duduk menyendiri di gasebu bersama sesedihan yang terus menggebu di dalam hati. Kupegangi mesin ketiknya yang ia berikan padaku, lalu perlahan aku menulis sebuah kalimat “WAHAI KUPU KUPU SAMPAIKAN RINDUKU KEPADANYA”. Berharap ada seekor kupu-kupu yang mendengar batinku di tengah-tengah taman bunga ini.

Aku senderkan tubuhku pada tiang gasebu dengan pikiran kosong, menikmati semilir angin yang begitu lembab, hingga mengantuk kemudian ketiduran.

Pada saat itu, aku terbangun dari tidurku. Dan begitulah akhir cerita mimpiku. Kutulis dengan sedetail-detailnya. Kupandangi lagi gagak-gagak di atasku, alangkah terkejutnya diriku ketika ku tahu jumlah mereka bertambah menjadi 9 ekor. Kini aku benar-benar khawatir akan keselamatanku, jelas akan terjadi sesuatu yang tidak beres denganku. “Apa kah mereka akan mengutukku?”. Penaku terjatuh ke bawah, kemudian aku bergegas mengambilnya.

Setelah kudapati penaku di tanah, tiba-tiba tubuhku tak bisa kugerakan ketika aku dikejutkan oleh si Ely yang sedang ketiduran di gasebu lengkap dengan buku-buku dan mesin ketiknya. Dengan perlahan sekali, aku kepakan sayap menuju kembali keatas diiringi oleh suara gagak yang saling bersahutan, aku terus ke atas, pandanganku pun mulai memudar, menjadi sinar putih menyilaukan.



TAMAT

3 komentar:

  1. catatan akhir dari trilogi dairy ya pak ? :-)
    Mungkin, burung-burung gagak yang lain ingin mengajak main kejar-kejaran. Tapi, apa benar pada akhirnya si gagak hitam itu dikutuk ?

    BalasHapus
  2. Iya.. Tamat..
    Sebetulnya, si gagak hitam cuma sebuah tokoh imajinasi ciptaan Ely.
    Pada akhirnya, si tokoh (Gagak) bertemu dengan si pencipta (Ely)
    Akhirnya.. si gagak hitam hilang deh... :D

    BalasHapus
  3. Wah, berarti si gagak hilang bersama sinar putih yg menyilaukan :-D

    BalasHapus