Rabu, 13 Mei 2015

Gaga Sewaktu Kecil


Hari ini adalah hari ke-6 setelah Lebaran Idhul Fitri di tahun 1995. Di atas meja ruang tamu masih menyisakan beberapa jajanan: Astor, Wafer Nissin dan tidak ketinggalan pula Biskuit Kong Guan. Disanalah aku berada. Sebagai seorang anak kecil, aku suka sekali dengan cokelat, sama seperti anak kecil pada umumnya.

Sore ini, aku menyibukan diri dengan menjilati cokelat yang ada di beberapa biskuit Kong Guan, sisa-sisa biskuit yang cokelatnya telah kujilati aku masukan kembali ke dalam kalengnya, tujuannya adalah supaya tidak mubazir, terlebih lagi gigiku yang gupis terasa sedikit linu.

Waktu maghrib hampir tiba, aku mandi dengan sabun Casson Imperial Latter yang telah aku ukir menjadi bentuk televisi dan tidak lupa juga menyikat gigi dengan pasta gigi Kodomo rasa pisang, hmm... nikmat sekali mandiku.

Jam 7 malam, rumah kedatangan beberapa tamu. Mereka semua adalah kerabat baik ayahku di kantor. Silaturahmi memang sudah menjadi tradisi kami setiap lebaran Idhul Fitri. Mereka semua asyik mengobrol layaknya orang dewasa, sambil minum teh hangat, kopi dan juga makan biskuit Kong Guan dengan lahapnya.

Di dalam keramaian, aku menunjuk ke arah kaleng biskuit tersebut sambil berkata dengan lantang “Hiii.... padahal cokelatnya udah aku jilati...”.

Jumat, 08 Mei 2015

BIANGLALA IMAJINER


Sebuah cerpen fiksi

Banyak orang berkata “Jatuh Cinta itu Berjuta juta Indahnya”, tapi tidak denganku, bagiku jatuh cinta bermilyar milyar indahnya, aku bisa merasakannya, meskipun tidak pernah aku hitung hingga bermilyar jumlahnya karena ketika itu hitunganku terhenti diangka 14. Selanjutnya, waktu lah yang telah membuat hitungannya menjadi bermilyar milyar keindahan.

Pagi ini, bulan Januari tahun 1990 yang begitu lembab dan sejuk, aku menulis sambil mendengarkan kicauan sepasang burung merpati di dalam sangkar kayu yang di letakan tepat di atasku, di teras sebuah rumah besar peninggalan Belanda yang aku tinggali selama lebih dari 35 tahun bersama 5 temanku tercinta. Sementara, sudah kuhabiskan dua batang rokok kretekku dan secangkir kopi hitam dengan sedikit gula, cukup sederhana untuk menciptakan pagiku yang manis.

Sebagai seorang laki-laki tua yang entah sudah berapa tahun umurku, tidak banyak lagi aktifitas berat yang bisa aku lakukan. Aku tidak lagi muda. Bahkan tulang-tulangku kini sudah tak mampu lagi menopang beratnya sebuah tas carrier yang dulu sering aku pakai untuk mendaki gunung, kulitku yang kriput ini pun sudah tak mampu lagi berpapasan dengan teriknya matahari dan dinginnya puncak. Terlebih lagi aku sedang sakit yang entah sakit apa dan entah kapan akan sembuh.

Pagi ini adalah akhir pekan, aku sengaja tidak mandi dan tidak sarapan indomie kesukaanku. Karena dari dulu aku pun selalu begitu diakhir pekan. Seperti biasa, dari kejauhan, terlihat Nn. Martawi yang sudah aku tunggu-tunggu sedang memasuki pintu gerbang menuntun sebuah sepeda ontel tua dengan keranjang besi di belakangnya, membawa sekitar 6 bungkusan bubur ayam untuk kami. Yesss....!

Nn. Martawi adalah salah seorang perawat disebuah Rumah Sakit Jiwa Darkem, ya.. disini, tempat dimana aku dan 5 temanku tinggal selama 35 tahun lebih. Wajahnya yang manis, berambut hitam panjang, berbibir merah dan bertubuh montok, menyamarkan fakta bahwa sesungguhnya Nn. Martawi telah berumur 35 tahun. Ia tidak memiliki anak apalagi suami, ia habiskan seluruh hidupnya untuk mengabdi di Rumah Sakit Jiwa Darkem ini. Dia merupakan perawat yang rajin dan ulet, terbukti dengan segala keindahan dan kerapihan yang ada di Rumah Sakit ini, bahkan ia rela membersihkan kamar tidurku yang basah karena tidak sengaja aku kencingi ketika aku tidur. Terkadang aku malu dengannya, entah kenapa aku tidak bisa mengontrol keluarnya air kencing disaat aku tidur. Sehingga aku kerap memberikannya hadiah sebagai tanda terima kasihku kepadanya, hadiah yang aku buat sendiri, Sebuah lukisan pemandangan dua buah gunung kembar disebelah kanan dan kiri, dengan jalan berbelok yang dibuat mengecil ketika mendekati gunung, dengan sawah yang menguning, langit yang biru, 1 buah matahari kuning yang bundar dan seorang wanita di langit. Nn. Martawi bertanya “ Siapa wanita yang ada di langit itu Gaga?”, “Entahlah, mungkin malaikat” Jawabku sambil sedikit menaikan bahu. Nn. Martawi tersenyum sambil menganggukan kepala. Dalam hati, sebenarnya aku menjawab “Itu kamu”. Hahaa... Aku kira cukup sudah bercerita tentang Nn. Martawi, aku hanya tak ingin kalian mengenal lebih jauh tentangnya, karena bisa membuatku cemburu.

Waktu sudah menunjukan jam setengah sepuluh, sebungkus bubur ayam sudah aku habiskan, 2 batang rokok kretek pun sudah aku hisap pula. Kini aku harus meminum obatku yang jumlahnya satu lusin, salah satu obatnya bernama Benzodiazepin. Lalu aku bergegas menuju Aula Rumah Sakit bersama ke 5 temanku, dengan pakaian yang sedikit rapi.

Tepat jam 11 siang, aku dan 5 temanku mulai memasuki Aula dengan berjalan berjejeran layaknya aktor film. Sebelum memasuki ruangan Aula yang pintunya bertuliskan “No Smoking”, aku sempatkan mematikan rokoku di lidah lalu kusentilkan kearah atas menggunakan jari tengahku. Seperti biasa, kami diberi tepuk tangan yang meriah oleh 12 orang petinggi pengurus Rumah Sakit ini, termasuk juga Nn. Martawi yang senyumnya bisa aku lihat ketika aku mandi. Seperti yang sudah-sudah, selain  berdiskusi tentang perkembangan kesehatan kami, tujuan kami berkumpul di Aula juga karena para pengurus Rumah Sakit ingin membahas rencana acara seminar psikologi kejiwaan yang akan diselenggarakan oleh sebuah Universitas terkemuka yang ada di kota ini, besok senin pagi. Kami ber 6 diberi kehormatan untuk menjadi narasumber diacara seminar tersebut, walau tidak ada satu pun peserta yang hormat kepada kami, kami cukup senang.

Malam ini hujan dan salju turun dengan bersamaan, butiran salju yang menempel di dedaunan hanya mampu bertahan 4 detik saja karena langsung dilelehkan oleh tetesan air hujan. Seperti biasa, aku duduk berselonjor di kursi bambu panjang di teras Rumah Sakitku, sambil menulis dan menikmati kacang rebus buatan Nn. Martawi. Kali ini tidak seperti biasanya, aku tidak melihat ke 5 temanku di teras, di dalam, di luar dan dimana-mana. “Mba.. kemana perginya ke 5 teman tercintaku. Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa?” Tanyaku kepada Nn. Delilah, salah seorang perawat yang kebetulan lewat dibelakangku. Ia tersenyum dan menjawab “Mereka disumbangkan oleh bapak direktur ke Museum Wayang Kulit milik pemerintah daerah tadi sore”. “Lho.. kenapa mereka disumbangkan? Aku khawatir mereka tidak bahagia disana”. Tanyaku yang merasa keheranan. Kuhisap lagi rokoku untuk mengurangi kegelisahan kemudian aku bertanya lagi, namun tiba-tiba Nn. Delilah sudah pergi. Aku bergegas berdiri melihat suasana disekitarku, aku masih benar-benar tidak menyangka, mereka meninggalkanku begitu saja setelah bertahun-tahun kami hidup bersama, bermain bersama, bersendau gurau bersama, bercakap-cakap bersama. Aaah... aku tidak suka suasana seperti ini, perasaanku tidak karuan, aku merasa linglung, jantungku berdebar kencang, kepalaku seakan berputar-putar. Aku berlari ke tengah lapangan di depan teras, kurebahkan tubuh rentaku bersama guyuran air hujan dan salju, seekor burung gagak hitam beterbangan di atasku dengan suaranya yang khas. Dari pintu Rumah Sakit, terdengar Nn. Martawi memanggilku “Gaga, masuk lah.. aku tak ingin kamu demam”. “Yaaa... aku masuk”. Aku berdiri dan kemudian berjalan masuk.

Di dalam rumah, Nn. Martawi memberiku handuk dan pakaian kering sambil menanyaiku “Sebenarnya apa yang telah terjadi Gaga?”. Lalu aku ceritakan semuanya tentang kepergian 5 temanku itu. Nn. Martawi memelukku untuk membuatku tenang, bukannya tenang, aku malah menjadi tegang.

Ini adalah senin pagi yang cerah, Aku tidak bisa lagi mendengar celotehan para sahabatku. Aku lekas bergegas mandi menggunakan air kelapa yang baru saja aku petik dari pohon di depan Rumah Sakit. Rok merah dan jas hitam juga telah aku siapkan di atas meja kamarku untuk aku kenakan di acara seminar tersebut. Setelah semua perlengkapanku telah siap, Nn. Martawi menawarkan diri untuk mengantarku, aku meng-iyakan tawarannya. Karena lokasinya cukup jauh dan Rumah Sakit hanya memiliki satu mobil, maka kami berdua berangkat menggunakan mobil ambulan. Kami siap berangkat dengan Nn. Martawi sebagai sopirnya. Ditengah perjalanan terkadang aku terpaksa menyalakan sirene agar tidak terjebak kemacetan ketika melewati perempatan atau pertigaan. Setelah satu jam perjalanan, akhirnya kami sampai disebuah gapura besar yang dipasangi spanduk bertuliskan “Selamat datang para peserta Seminar Psikologi Kejiwaan”.

Kedatangan kami rupanya disambut dengan hangat oleh panitia. Sambil tertawa cekikikan, para panitia memandu kami menuju ruang Seminar yang gedungnya besar. Aku memgang erat tangan Nn. Martawi untuk menghilangkan rasa gerogiku. Setelah moderator selesai berbicara, panitia mempersilahkan aku duduk ditempat duduk tepat ditengah backround panggung, sedangkan Nn. Martawi duduk di kursi VVIP. Langkah kakiku diiringi oleh tepukan tangan dan tawaan yang sangat riuh oleh para peserta. Kemudian aku duduk sambil memandang cahaya matahari yang menembus salah satu kaca jendela gedung. Sebelum berdiri dan berbicara, aku menyempatkan untuk menyalakan rokokku agar lebih percaya diri, walaupun aku dianggap gila tetapi aku tetap butuh yang namanya rasa percaya diri. Pembicaraanku pun dimulai dengan tanya jawab.

Peserta 7: Pak, kenapa anda memakai jas hitam dan rok merah?

Aku: Karena jas yang coklat dan rok yang hitam sedang dicuci.

Peserta 22: Jika anda masih ingat, tolong jelaskan apa yang terjadi dengan kaki kanan anda, mengapa menggunakan kaki palsu?

Aku: Pertanyaan bagus nak... aku tak pernah lupa. Kaki kananku patah sudah sejak aku duduk di bangku SMP, ketika itu aku sengaja mematahkannya menggunakan balok kayu yang kupukulkan berkali-kali, sekedar untuk membuktikan kepada kekasihku bahwa putus cinta dengannya lebih menyakitkan dibanding patahnya kakiku.

Para Peserta: Huuuuuuuuu....

Peserta 34: Kalau boleh tau, Kenapa anda begitu mencintai kekasih anda ketika itu?

Aku: Sebagai remaja laki-laki, aku sangat menyukai aktifitas seks. Hanya dengan dia, aku bisa merasakan sensasi seks yang sehebat-hebatnya, bagaikan Bianglala.

Peserta 35: Sensasi seks hebat macam apa yang anda rasakan ketika bersamanya?

Aku: Hmm... Bagiku dia itu unik. Wajah, suara, rambut, postur badan, warna kulit, pikiran, sifat, umur, payudara dan bahkan maaf, vaginanya pun bisa berubah ubah sesuai dengan yang aku inginkan. Hahaha...

Para Peserta: Huuuuuuuuuu.....

Sejenak suasana gedung menjadi riuh oleh tepukan tangan para peserta. Aku sempatkan meminum teh hangat yang disiapkan panitia untuk menyegarkan tenggorokanku.

Peserta 4: Saya penasaran, masa iya sih ada perempuan seperti dia. Tolong ceritakan awal anda bertemu dengannya!

Aku: Pada suatu siang, di Sekolah SMPku. Aku mengikuti pelajaran bhs. Indonesia di perpustakaan bersama 35 siswa yang lain. Ketika itu, Ibu guru menjelaskan panjang lebar tentang penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, sedangkan aku lebih memilih untuk melamun hingga ketiduran.

Peserta 4: Lalu???

Aku: Tidak ada satu pun teman-temanku yang membangunkanku, keterlaluan sekali mereka, teman macam apa itu! Sialnya, aku terbangun setelah maghrib. Beberapa saat setelah aku menyalakan sakelar lampu, baru lah sosok cantiknya muncul dari balik lemari buku. Aku mendekati untuk mencoba berkenalan.

Peserta 3: Siapa namanya Pak?

Aku: Dengan nada yang lirih, dia berkata “Ima”. Sejak saat itu, hubungan kami semakin hari semakin dekat layaknya orang dewasa yang bersuami istri. Dia selalu mengajaku berkelana keliling Dunia, sekedar untuk mencari sensasi berhubungan seks yang ekstrim.

Peserta 105: Bagaimana caranya kalian keliling Dunia diusia yang semuda itu?

Aku: Mudah saja bagi Ima, aku hanya disuruhnya memilih salah satu tempat yang ada di buku Atlas kemudian aku tidur sambil memeluknya. Setelah itu, aku terbangun dan telah berada ditempat yang aku inginkan. Misalnya ketika aku menginginkan sebuah pegunungan Es Alven, maka kami sampai disana. Ketika itu kami tinggal disebuah kabin kayu berukuran 5 kali 5 meter, diantara pohon-pohon cemara yang dihujani oleh salju, dengan pegunungan es sebagai backgroundnya. Seperti biasa, dicuaca yang dingin seperti itu, hal yang paling menyenangkan adalah bercinta, telah tersedia pula coklat cair hangat yang bisa kami pakai untuk berendam bersama. Hmmm... aku masih ingat betul manisnya coklat tersebut yang aku jilati di lehernya.

Para Peserta: Huuuuuuuuuuuuuuuuu....

Nn. Martawi: Hayoo pak Gaga... jaga ucapan...

Aku: Oke Nona...

Peserta 58: Hahahaha... mendengar cerita anda, sungguh membuatku iri Pak Gaga. Menurut anda, perjalanan kemana kah yang paling berkesan?

Aku: Perjalanan paling berkesan, Gunung Walu, Di gunung itu lah kami terpisah hingga detik ini.

Peserta 29: Tolong ceritaan kronologi terpisahnya anda dengan sosok Ima!

Aku: Pada suatu sore, kami berjalan menyusuri hutan yang kering. Semangatku membara walaupun berjalan dengan terseok-seok karena kaki palsuku yang sering kendor bautnya dan tas carrier yang berat. Sesekali si Ima menyemangatiku “Gaga.. Gaga.. Gaga..!” Setelah berjalan selama 2 jam, tepat ketika mentari mulai menghilang dan langit mulai menghitam, kami sampai di dua pohon beringin besar sebelum mencapai puncak. Kami berjalan di antara dua beringin tersebut, itu lah awal mula terpisahnya aku dengan Ima. Setelah beberapa detik aku melewati dua pohon beringin tersebut, tiba-tiba aku telah berada disebuah hutan besar yang ditumbuhi aneka macam pepohonan yang ukurannya besar-besar dan dipenuhi dengan semak belukar. Aku berteriak memanggil Ima, tapi tidak ada jawaban. Aku pun berlari kesana kemari mencari Ima, tapi tetap saja tidak kutemukan. Jangankan menemukan Ima, petani yang lewat pun tidak ada. Pencarianku tersebut berlangsung hingga 5 tahun, aku terjebak di dalam hutan yang sangat besar.

Para Peserta: Huuuuuuuuuuuuu.....

Tidak terasa waktu menunjukan jam 12 siang, acara seminar diistirahatkan sejenak hingga jam 1. Aku dan Nn. Martawi dipersilahkan makan siang dengan nasi kotak lezat yang diberikan oleh panitia. Kami makan di bawah sebuah pohon ketapang yang rindang di samping gedung, nikmat sekali. Sesekali Nn. Martawi menyindir tentang Ima, aku hanya bisa tertawa. Akhirnya waktu istirahat pun telah habis, seminar kembali dilanjutkan.

Aku: Ya.. Singkat cerita, aku tidak pernah menemukan Ima lagi hingga detik ini.

Peserta 17: Lalu apa yang anda temukan?

Aku: Nah... Pertanyaan yang bagus nak. Setelah aku menemukan sungai dan mencoba menyusurinya selama 7 bulan, aku menemukan sebuah Rumah Besar peninggalan Bangsa Belanda. Di atas pintu gerbangnya bertuliskan “Rumah Sakit Jiwa Darkem”. Kemudian aku masuk, aku melihat 5 orang yang sedang bermain bola di udara. Perasaanku lega sekali karena untuk pertama kalinya dalam 5 tahun akhirnya aku menemukan orang yang bisa kuajak bicara. Mereka menyambutku dengan ramah, kami pun berkenalan, mereka memiliki nama Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa. Sejak saat itu lah mereka menyuruhku untuk tinggal saja di Rumah Sakit tersebut. Aku diperkenalkan kepada para pengurus Rumah Sakit untuk mendapatkan ijin tinggal. Akhirnya, aku tinggal menetap disana hingga sekarang ini yang telah berjalan selama lebih dari 35 tahun. Aku senang sekali tinggal disana bersama orang-orang yang mau menerimaku apa adanya, walaupun terkadang juga sedih ketika tiba-tiba teringat kembali tentang Ima yang entah kemana perginya. Nah.. begitulah sedikit ringkasan tentang hidupku. Mohon maaf apabila ada kata-kataku yang tidak berkenan di hati kalian semua.

Tepuk tangan para peserta menggema di dalam gedung Seminar tersebut, mengiringi aku yang berjalan menuju kursi VVIP untuk kembali kepada Nn. Martawi.

Moderator: Yaa... barusan kita telah mendengarkan sebuah cerita hebat pengalaman hidup dari seorang imajiner yang menderita kelainan jiwa sejak kecil. Pelajaran yang bisa kita ambil darinya adalah tentang betapa luasnya Imajinasi, imajinasi dapat menciptakan Dunianya sendiri, Dunia yang hanya bisa dirasakan oleh tiap-tiap individu yang mengalaminya. Berimajinasi lah sesuai kemampuan kalian masing-masing, tapi ada satu hal yang harus digaris bawahi. Imajinasi itu ada batasannya, kalian harus bisa membedakan mana imajinasi yang positif dan mana imajinasi yang negatif. Selain itu, kalian juga harus bisa membedakan mana yang sebenarnya Imajinasi dan mana yang kenyataan. Itu lah yang membedakan antara manusia yang sehat dan yang sakit jiwanya.

Setelah acara seminar ditutup oleh moderator, kami meninggalkan ruangan sambil bersalaman dengan para pengurus acara dan tamu-tamu yang lain. Sebelum aku masuk ke mobil, seorang peserta yang cantik memberiku sebuah bingkisan kecil sebagai ucapan terimakasih, katanya. Lalu aku masukan ke dalam kantong jasku. Kemudian kami pulang, kali ini aku yang menyetir.

Waktu menunjukan jam 4 sore, ditengah perjalanan Nn. Martawi terlihat sedikit murung dengan memalingkan wajah ke kaca sebelah kiri, lagi lagi ia menyinggungku tentang Ima.

Nn. Martawi: Apakah kamu masih mencintai Ima?

Aku: Mmm.......

Nn. Martawi: Jawab!

Aku: Iya, aku masih mencintainya!

Nn. Martawi: Owh.. aku ingat ceritamu yang tadi bahwa Ima bisa menjelma menjadi sosok yang berbeda-beda.

Aku: Iya.. itu benar.

Nn. Martawi: Bagaimana jika aku adalah Ima?

Aku: Hahaha... Tak mungkin... jangan bercanda ah...

Nn. Martawi: Aku tanya, Bagaimana jika aku adalah Ima?

Aku: Hmmm.... Aku ingin keliling Dunia bersama.

Nn. Martawi: Dunia macam apa yang kamu inginkan Drimiku?

Aku kaget bukan kepayang mendengar kata “Drimiku” keluar dari mulutnya. Seketika tubuhku menjadi kaku, lalu aku mencoba menoleh kearahnya. Dan ternyata memang benar, yang aku lihat sudah bukan lagi Nn. Martawi, melainkan sosok yang tidak aku kenal. Laju mobil semakin tak terkendali. Ia bertanya lagi.

No Name: Dunia macam apa yang kamu inginkan Drimiku?

Aku: Dunia Nyataaa!!!

No Name: Keinginanmu akan segera terkabulkan Drimiku.

Dan mobil ambulanku terperosok ke dalam jurang sedalam 17 meter lalu kemudian masuk ke dalam danau. Aku sempatkan membuka bingkisan kecil yang tadi aku masukan kantong, astaga... ternyata berisi sebuah foto usang yang menggambarkan masa kecilku di SMP, sedang tergantung kaku di ventilasi pintu perpustakaan sambil memegang buku Atlas. Dalam hati aku berkata “Siapa kah perempuan cantik yang memberikan bingkisan kepadaku?”.


Jogjakarta, 28 April 2015