Jumat, 26 Juni 2015

#2 TRILOGY DIARY

CATATAN AKHIR KUPU


Sebuah Cerpen Fiksi Kedua Tentang Kupu-kupu

Sembari menunggu hujan reda, aku sempatkan untuk menghabiskan setetes madu menu sarapanku dipagi ini. Madu super nikmat yang aku kumpulkan dari bunga pohon kamboja tadi malam. Kesunyian jiwa dan lembabnya udara disekitar pohon kamboja semalam telah memberiku secercah semangat beserta inspirasi, sehingga secara tak sadar, aku mampu meracik suatu ramuan madu yang nikmat dari tujuh bunga kamboja yang berbeda warna. Aku menamakannya Madu Pelangi.
Perkenalkan, aku adalah seekor kupu-kupu jantan bersayap merah jingga yang tampan. Satu tahun yang lalu, aku menemukan buku kecil ini tergeletak di bawah sebuah pohon mangga. Setelah aku baca ternyata ini merupakan sebuah buku catatan harian seekor semut bodoh yang mati karena meminum racun serangga, hahaha. Sebuah catatan yang menurutku tidak menarik sama sekali, tetapi buatku itu cukup menghibur lah dan harus aku syukuri pula, karena adanya dia, aku bisa ikut menulis di bukunya.
Inilah aku, seekor kupu-kupu jantan, sejenis fauna yang diagung-agungkan oleh manusia, namaku sering dihadirkan pada sajak dan lagu-lagu mereka, aku pun selalu menjadi icon tanda cinta oleh manusia. Sebagai kupu-kupu yang teramat kecil bagi Dunia, aku sangat bangga atas diriku. Aku ditakdirkan terlahir menjadi kupu-kupu, bukan semut. Aku pernah mendengar para manusia bercakap tentang filosofi semut, mereka berkata: “Hidup harus saling tolong menolong dan bergotong royong layaknya para semut.” Hmm.. tapi aku tidak peduli, bagaimanapun juga semut tetap lah semut, dari bentuknya saja sudah tidak menarik untuk dilihat.
Aku memiliki perjalanan hidup yang panjang, sebelum menjadi bentuk yang seindah ini, aku adalah seekor ulat bulu yang jelek dan menjijikan. Oiya.. sebelumnya aku ingin meminta maaf atas penjajahan oleh Bangsaku terhadap Bangsa semut dimasa silam. Seperti kita ketahui, hidup ini adalah kompetisi, siapa yang kuat dia lah yang berkuasa. Aku akui Bangsa ulat adalah Bangsa yang bersifat parasit, merusaki tanaman yang kami tinggali. Tapi perlu diketahui, setelah kami bermetamorfosa (kata manusia) menjadi kupu-kupu, maka kami adalah hiasan, hiasan yang menghiasi tanaman, tanaman yang pernah kami rusaki. Bahkan Bangsa kami lah yang membantu bunga bunga berkembangbiak. Suatu ketika pernah ada cerita tentang sekuntum bunga matahari yang rela rusak daunnya saat dirinya ditinggali tiga ekor ulat, hanya karena ingin melihat tiga ekor kupu-kupu yang indah. Intinya adalah, keindahan sejati baru bisa dinikmati setelah merasakan yang buruk.
Banyak sudah waktu yang kuhabiskan untuk berkelana sendirian, ya... aku sendirian. Tanpa teman bahkan kekasih, bagiku keduanya cukup merepotkan, merepotkan jika aku pikirkan. Aku hanya malas jika harus ikut memikirkan segala permasalahannya, dan lagipula aku pun juga tak ingin membagikan masalah yang sedang aku pikirkan. Kukira itu adil.
***
Suatu hari dimusim panas pertengahan bulan September, aku pernah terbang melintasi hamparan perkebunan bunga Lavender yang luas di atas tanah berumput yang berbukit-bukit. Sinar matahari pagi saat itu seakan akan menambahi intensitas warna dari setiap kelopak bunganya, ungu violetnya benar-benar jujur. Harumnya semerbak hingga menusuk rongga trakeaku. Bahkan saking harumnya, jika saja ada dua puluh empat manusia yang kentut, pasti tidak akan tercium bau kentutnya. Angin yang sepoi-sepoi membuatku tak perlu mengepakan sayap banyak-banyak, aku terbang layaknya burung Elang. Angin juga membuat ujung-ujung bunga berayun-ayun ke depan dan ke belakang secara bergantian, andai saja kalian ikut melihatnya, mungkin kalian akan takjub, gerakan mereka seperti ombak di lautan. Saat itu, aku berkata dalam hati “Seperti ini kah bentuk surga itu?”.
Dilain waktu, pada musim hujan akhir bulan Desember, aku juga pernah terbang melintasi sebuah gurun pasir yang bagiku terlalu luas untuk diterbangi dan sangat tandus sampai sampai aku tidak sadar bahwa ketika itu sedang berlangsung musim hujan. Tidak ada satupun bunga yang aku temukan, kecuali buah Naga, buah yang konon katanya merupakan tanda cinta sang Raja Naga kepada permaisurinya. Aku memakannya hanya untuk melepas dahaga karena cuaca terlalu panas. Pasirnya yang putih bersih membuat mataku silau karena pantulan sinar matahari, sehingga membuatku terbang dengan mata yang menyusut. Dalam perjalanan tersebut aku melihat banyak sisa tulang belulang Bangsa manusia maupun Bangsa binatang mamalia, karena terlalu panas dan tandus. Bahkan saking panasnya, aku melihat beberapa bangkai Burung Bangkai dan Ular derik yang telah mengering hingga hampir membentuk sebuah fosil. Apabila kamu ingin bertanya mengapa aku bisa bertahan hidup ketika itu, maka aku akan menjawab, aku terbang ketika malam dan aku masuk ke dalam badai pasir ketika siang, yang secara otomatis membuatku semakin cepat melewati gurun pasir yang tandus itu. Aku benar-benar kapok melewati tempat tersebut, dalam hati aku berkata “Seperti itu kah bentuk neraka itu?”.
***
Sekarang hari sudah mulai siang, matahari tepat di atasku, Madu Pelangiku pun juga sudah habis empat tetes, sisanya aku simpan di dalam sebuah guci keramik peninggalan temanku dari Bangsa Laba-laba. Aku akan bersiap untuk terbang-terbang atau dalam bahasa manusia disebut jalan-jalan, menuju sebuah taman di pinggiran kota, taman yang ditumbuhi aneka ragam bunga, tanaman dan ikan-ikan koi yang asyik berenang di dalam kolam bulat berdiameter tujuh meter.
Aku melihat ada tiga gasebu semi permanent yang terbuat dari bambu. Gasebu pertama diisi oleh seekor kucing jantan coklat yang sedang terlelap, gasebu kedua diisi oleh seorang ayah dan anak laki-lakinya yang masih kecil sedang bercakap-cakap sambil menikmati es krim vanila, gasebu ketiga diisi oleh gadis cantik yang sedang menyendiri sambil memegang sebuah buku berwarna coklat berukuran A4.
Sembari menghisap madu pada bunga Sepatu berwarna merah, aku sedikit menguping pembicaraan seorang ayah dan anak laki-lakinya yang berada di gasebu kedua. “Yah... apakah surga itu masih tersedia untuk kita? Surga yang kata ibu guruku berada di telapak kaki ibu. Sedangkan, ibu telah meninggalkan kita sejak lima tahun yang lalu ketika aku berusia tujuh tahun.” Tanya si anak dengan rasa keingin tahuannya. “Tentu saja surga selalu tersedia untuk kita nak.. Sekarang ibu sudah duluan berada di surga tersebut, ibu sedang menyiapkan rumah untuk kita bisa bersama sama lagi disana.” Jawab si ayah sembari menatap awan. “Yeee.... pasti sekarang ibu sedang membuat perpustakaan raksasa seperti yang aku cita-citakan.” Kata si anak dengan nada gembira. “Iya.. Tapi ingat nak... selama ibu membuat perpustakaan tersebut, kita harus tetap mendo’akan ibu.” Si ayah mencoba memberi pengertian. “Kenapa kita harus mendo’akan ibu Yah?” Tanya si anak yang kebingungan. “Agar ibu tau dan dengar, bahwa kita di Bumi ini juga sedang berjuang, berjuang untuk bisa menyusulnya.” Jawaban si ayah dengan penuh keyakinan. “Ayo kita berjuang!” Kata si anak yang tiba-tiba berdiri sambil menghormat menghadap langit.
Begitulah percakapan mereka yang aku dengar, yang sekaligus juga menakutkanku, karena setelah itu anak kecil tersebut mencoba mengejarku. Kemudian aku terbang menjauh untuk mencari aman, mendekati bunga Matahari di dekat gasebu ketiga, disitu aku melihat seorang gadis beparas manis, dengan mata indah yang pandangannya kosong, dengan kulit berwarna sawo matang, dengan kepala yang dibalut kain kerudung bermotif taman alias bunga-bunga, dengan baju gamis berwarna coklat yang tidak bisa aku lihat lekuk tubuhnya. Aku mencoba terbang lebih dekat untuk melihat buku apa yang sedang ia pegang, buku besar berukuran A4 dengan sampulnya yang berwarna coklat. Dengan perlahan ia membuka lembaran-lembaran bukunya sampai halaman empat, setelah kuhitung. Herannya, aku tidak menemukan satu kata pun pada lembaran-lembaran buku tersebut. Jari-jari lentiknya mulai meraba-raba permukaan kertas putih polos pada halaman empat di buku tersebut, wajahnya terlihat sedikit tersenyum, menampakkan gigi serinya yang begitu rapih. Setelah aku dekati, ternyata di dalam lembaran kertas putih tersebut memiliki motif lingkaran–lingkaran kecil yang dibuat timbul. Aku menggambar motif tersebut agar aku tidak lupa.


Aku sedikit heran, mengapa hanya dengan meraba–rabakan jari pada lembaran kertas yang bermotif lingkaran kecil-kecil tersebut, bisa membuatnya tersenyum.
Matahari telah menunjukan jingganya, satu per satu makhluk hidup yang berkeliaran di taman mulai berangsur pergi. Menyisakan aku dan bunga-bunga. Sementara itu, barisan lampu taman mulai menyala. Mencahayai bunga-bunga yang sedari tadi aku hisap sari madunya. Tak lama kemudian, sekumpulan Laron datang entah dari mana, mendekati lampu untuk sekadar terbang-terbang. Jumlahnya terlalu banyak untuk kuhitung. Aku ikut bergabung dengan mereka, terbang dan menari di dalam cahaya yang kekuning-kuningan. Seolah olah tak ada lagi beban di dalam pikiranku. Dari kejauhan aku melihat 7 ekor burung gagak sedang mengintai kami dari kejauhan, tapi aku tak peduli.

***

Jogja, Juni 2015

Kamis, 25 Juni 2015

#1 TRILOGY DIARY

CATATAN AKHIR SEMUT


Sebuah Cerpen Fiksi Pertama Tentang Semut

Inilah aku, miniatur kecil yang sedang menjalani kehidupan di bumi yang bagiku sangat lah luas, yang saking luasnya sampai-sampai aku tidak percaya bahwa bentuknya bulat. Malam ini ditempatku anginnya terasa begitu sepoi-sepoi melewati tubuh mungilku, membuat aku semakin yakin bahwa angin ada karena bumi yang sedang berputar. Ya.. Disini lah aku, Bumi. Bersama triliyunan saudaraku yang keseluruhannya dikenal sebagai sosok yang sopan, rajin dan pekerja keras.
Pohon mangga, 13 April 1990. Menjadi hari kelahiranku, aku menetas dari salah satu butiran telur yang jumlahnya mencapai ratusan. Telur yang setelah beberapa hari dijaga oleh ibuku dengan setia. Aku menetas dengan wujud seekor semut mungil berwarna hitam. Aku menjadi bayi semut yang paling pertama menetas, yang kemudian disusul oleh ratusan saudara-saudaraku yang lain secara berurutan. Tujuh menit berselang, keadaan di sarang menjadi begitu ramai riuh, kami mencoba bergerak kesana kemari, keheranan dengan apa yang kami lihat untuk pertama kalinya. Lalu aku peluk sosok ibuku dengat erat-erat, aku ciumi kedua tangannya, kusujudkan kepalaku pada keempat kakinya. Dengan perasaan linglung, aku berkata pada ibuku: “Ibuku sayang, sebelum kau melupakan wajahku dan sebelum aku melupakan wajahmu, ijinkan aku tuk mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepadamu yang telah menetaskan kami semua. Ini merupakan anugerah terbesar dalam sejarah hidup kami, kami telah diberi kesempatan untuk hidup di dunia ini, di bumi.” Ibu tak mampu berkata-kata mendengar perkataanku, beliau hanya memeluku sambil menangis, itu adalah sebuah pelukan terhangat yang pernah aku rasakan. Dengan sedikit tersenyum, beliau menatap tajam mataku, lalu bebisik, “Selamat datang di Dunia nak..”. Kata kata itu selalu kuingat.
Seiring berjalannya waktu, kami pun tumbuh menjadi anak-anak semut (Semut ABG) yang riang dan gembira. Sebagai kakak pertama, aku diberi hak untuk memimpin adik-adiku yang jumlahnya mungkin ratusan, aku tak pernah menghitungnya. Masa kecil kami tersebut, banyak dihabiskan dengan bermain permainan perang-perangan, pohon mangga tempat tinggal kami merupakan tempat yang sangat menyenangkan untuk bermain. Batang pohonnya yang bertekstur sangat cocok untuk bersembunyi ketika bermain perang-perangan, lalu kemudian bergerilya. Permainan perang-perangan memang menjadi permainan favorit kami, karena sangat tidak mungkin jika kami memainkan permainan petak umpet, kalian tau sendiri lah. Kami semua kembar identik hingga ratusan jumlahnya, sampai sampai, aku sendiri sebagai kakak tertua tidak bisa membedakan mana yang bernama Sugara dan mana yang bernama Sugari.
Waktu yang terus berjalan, telah membawa kami pada masa kedewasaan. Sebagai binatang, aku sadar bahwa aku dan saudaraku pasti mengalami pertumbuhan, kepalaku yang dulu mungil kini mulai membesar, otomatis otakku juga ikut membesar, tetapi aku merasa pikiranku tidak bertumbuh. Bahkan pohon mangga tempat kami tinggal, sudah tiga kali berbuah saat musim hujan.
***
 Malam ini adalah malam yang dingin dengan langit yang berhias bintang-bintang dan satu buah bulan, aku merebahkan tubuhku disalah satu ranting untuk bermalas-malasan sambil menikmati potongan kecil kue brownies yang aku curi dari warung makan diseberang barat pohon manggaku. Kulihat ada sepasang manusia remaja yang sedang asyik merayakan tahun baru 1995 dengan bebakaran ikan guramih dan jagung. Hmm... membuatku sejenak terdiam beberapa menit sambil menyimak. Kegembiraan terpancar jelas di wajah mereka, salah satu dari mereka yaitu yang laki-laki berkata “Sayangku.. malam ini hanya ada kita berdua di halaman belakang rumah ayahku. Aku ingin sekali merasakan nikmatnya surga dunia bersamamu sayang, selagi tak ada yang melihat, hanya kita berdua saja.” Dan sialnya, perempuan itu menganggukan kepala sembari tersenyum sebagai isyarat bahwa ia setuju. Aku pun ikut tersenyum, lalu kembali kunikmati potongan kue browniesku yang telah menunggu untuk dimakan sambil menyambut datangnya hari baru, bulan baru dan tahun baru. Sekilas, bintang-bintang di langit membentuk aneka titik-titik bagaikan ribuan semut yang bercahaya. Aku kembali pandangi api yang menari-nari di bawahku yang kemudian membuatku mengantuk sampai aku ketiduran.
Aku terbangun pagi hari diawal tahun 1995, udaranya begitu lembab dan dingin karena gerimis. Aku melihat kebawah dan mulai turun. Aku melihat api telah berubah menjadi abu, sampah-sampah berserakan, sepasang remaja itu pun juga telah pergi. Para saudara dan teman-teman dari Bangsaku sudah mulai berkumpul di area tersebut untuk berpesta, iya.. berpesta, karena ada banyak sekali sisa-sisa makanan dan minuman kesukaan Bangsa semut. Aku mengkomandoni mereka untuk mengambil semuanya yang mereka sukai asalkan jangan saling berebut. Ternyata ada satu saudaraku yang kelakuannya membuat aku sempat tertawa, aku melihat saudaraku itu sedang sibuk menjilati cairan kuning yang menempel di sebuah alat kontrasepsi kepunyaan manusia, terlihat dari ekspresi wajahnya, ia terlihat gembira sekali sambil berkata padaku “Enak... rasa durian bro.” Hahaha... dasar semut bodoh, tidak pernah melihat dunia luar, padahal ia tidak tahu bahwa sesungguhnya rasa strawberry jauh lebih enak.
Kemudian setelah semuanya selesai, aku pun menyuruh mereka untuk segera pulang, sebelum hujan deras mengguyur karena sepertinya langit mulai berwarna keabu-abuan. Seperti biasa, kami berjalan dengan berurutan menuju rumah.
***
Waktu terus berjalan dan tak bisa dihentikan, kini aku telah berada di tanggal 14 April 1995, dimana aku telah berumur 5 tahun. Aku merasa jauh lebih tinggi dari sebelumnya, kepalaku pun mulai sudah lebih besar dari sebelumnya dan tetap saja pikiranku tetap tidak meluas. Di ulang tahunku yang ke 5 ini, aku berharap sekali ibuku datang untuk memeluku, tetapi nyatanya memang tidak. Beliau telah lama pergi, bukan hanya meninggalkanku dan saudara-saudaraku, tetapi juga meninggalkan bumi ini. Aku sudah dewasa, aku sudah besar, sesungguhnya aku sudah tidak membutuhkan pelukan ibuku, kini ibukulah yang membutuhkan do’a dariku sebagai tanda terimakasihku kepadanya. “Aku merindukanmu ibu.”
Sebagai seekor semut yang telah tumbuh besar walaupun tidak akan mungkin melebihi besarnya manusia, aku kini sudah bisa mengangkat beban yang beratnya 25 kali lebih berat dari tubuhku. Kadang aku berfikir, Bangsa semut adalah Bangsa yang terkuat. Dalam berkehidupan, kami selalu bergotong royong dalam aktivitas membawa makanan, agar dapat terselesaikan dengan cepat, karena kami sadar, kami sangatlah kecil. Kami juga saling berjabat tangan ketika berpapasan dengan teman-teman di jalan, karena kami sadar, kami memiliki tangan. Sembari berjabat tangan, kami serentak berkata “Semangat”, sebagai tanda ucapan salam kami. Bangsa semut meyakini bahwa kata semangat bisa memberi kekuatan pikiran pada setiap individu untuk tetap bertahan dan semangat dalam menjalani hidup ini.
Bulan April yang panas dan kering ini membuat aku menjadi sibuk, sibuk bermalas malasan sambil menikmati manisan mangga muda segar yang dibuatkan oleh semut-semut betina sebagai hadiah ulang tahunku. Cukup sederhana untuk membuatku bergembira. Angin berhembus sedikit kencang ke arah barat sebagai tanda bahwa bumi ini sedang berputar, hembusannya membuat dedaunan yang kering berjatuhan menyamping. Alhamdulillah, aku tidak ikut jatuh, aku kuat.
***
Awal bulan Mei 1995, menjadi sejarah bagi Bangsaku di Republik Pohon Mangga. Ketentraman kami diusik oleh kedatangan ratusan ulat bulu. Ternyata angin sepoi-sepoi yang kunikmati kemarin dibulan April membawa serta telur-telur ulat bulu, Arrgh... Mereka menyerang Bangsa semut, hampir seluruh penjuru pohon mangga berhasil dikuasai mereka. Selain kalah fisik, kami juga jelas kalah ukuran, tubuhnya yang besar dan terlindung oleh bulu-bulu yang lebat membuat kami kualahan, sehingga satu persatu rakyatku berguguran akibat terkena racun yang terkandung di ujung bulu-bulu mereka. Bahkan untuk menumbangkan 1 ekor ulat bulu saja kami harus mengeroyoknya dengan bantuan puluhan pasukan secara bersamaan.
Hari demi hari keadaan kami makin memburuk, sedih dan was-was selalu hadir di dalam pikiran, betapa tidak, kehidupan kami benar-benar sudah di ujung tanduk, jumlah kami pun mulai berkurang, sesungguhnya aku membutuhkan pasukan yang lebih banyak lagi, karena aku yakin dengan jumlah kami yang semakin banyak maka pertahanan kami pun juga akan semakin kuat. Sehingga aku memerintahkan para temanku yang jantan dan yang betina untuk saling berhubungan badan, tujuannya agar saling berkembangbiak, sehingga jumlah kami akan bertambah. Entah kenapa, para temanku yang tadinya berwajah suram tampak menjadi sumringah setelah mendengar ideku tersebut.
Setelah 1 minggu berjalan, akhirnya para betina mulai mengeluarkan telur-telurnya, sedangkan para jantan sibuk mengawasi keadaan sekitar. Disaat ketegangan melanda di dalam diri mereka, aku mengajak seluruh pasukanku untuk menonton film-film yang bertemakan perang dan action, ini dimaksudkan agar mental mereka terpacu, terinspirasi dan terdoktrin, sehingga mereka menjadi lebih semangat dan berani dalam berperang.
Setelah 14 hari berlalu, seluruh telur telah menetas dan bertumbuh. Kini jumlah kami luar biasa banyak, mereka (jantan) yang sudah beranjak remaja mulai dilatih cara berperang oleh komandan pasukan. Sebagiannya lagi sibuk membuat senjata yang terbuat dari duri pohon kaktus sepanjang 3 cm yang diberi pegangan kecil berjumlah 4. Konon, duri kaktus dapat menembus perut ulat bulu. Kemudian para betinanya sibuk dengan kegiatan konsumsi.
Sekarang kami benar-benar siap untuk berperang demi harkat dan martabat Bangsa Semut di Republik Pohon Mangga ini. Kami bersiap dengan membentuk barisan yang nampak padat namun kurang rapih, yang berjumlah hampir 21.000 pasukan semut. Gemuruh benar-benar terdengar saat kami berjalan sambil menghentakan kaki. Pedang sudah kami tajamkan, Jubah sudah kami kenakan, Jebakan sudah kami pasangkan, dan Do’a juga sudah kami panjatkan di dalam hati masing-masing. “Semoga Tuhan berada di pihak kita.” Ucapku pada pasukanku. “Kalau Tuhan berada di pihak kita. Lantas, siapa yang berada di pihak musuh?” Pertanyaan salah satu pasukanku yang merasa kebingungan.
Kami berjalan beriringan bermeter-meter jauhnya, menuju lokasi sarang ulat bulu tersebut. Sepanjang perjalanan kami menemukan banyak mayat saudara-saudaraku yang telah membusuk, sungguh aku benar-benar benci dengan pemandangan seperti ini. Seakan-akan nyawa ini tidak ada artinya. Perang ini harus segera diselesaikan agar tidak berlangsung terus menerus hingga ke anak cucuku kelak. Selain itu, banyak pula sisa-sisa bulu yang beterbangan di udara yang sudah hilang kandungan racunnya. Setelah 1 jam berjalan, akhirnya sampailah kami di medan perang, sarang ulat bulu.
Aku sedikit kecewa dengan kejadian ini, disaat kami telah benar-benar siap, entah kenapa meraka justru menghilang. Sarang yang beberapa hari lalu ramai dan padat oleh pasukan ulat bulu kini hanya tinggal bulu-bulunya saja. Aku khawatir kalau ini adalah sebuah jebakan, lalu aku mengkomandokan 27 pasukanku untuk menyisir seluruh seluk beluk sarang tersebut. 1 jam kemudian salah satu dari pasukanku menemukan serbuk lembut berwarna putih disalah satu bangsal yang ditinggali pasukan ulat bulu. Dan memang benar, serbuk itu berwarna putih, aku belum pernah melihat benda seperti itu sebelumnya. Membuat kami semakin bingung, apa yang sebenarnya telah terjadi. Setelah ditelusuri, ceceran serbuk putih itu mengarah ke suatu tempat yang kemudian kami ikuti kemana arahnya, aku yakin ceceran serbuk ini menuju ke tempat persembunyian ulat bulu. Sambil berhati-hati, kami terus menelusuri.
Setelah berjalan beberapa meter melewati ranting-ranting, kami dikejutkan oleh sosok gumpalan-gumpalan putih yang bergerak-gerak dan menggantung di bawah dedaunan pohon mangga yang jumlahnya hampir ratusan. Melihat kejadian itu, kami berlarian pontang-panting karena ketakutan. Kami takut pada sesuatu yang sama sekali belum pernah kami lihat sebelumnya, apalagi dengan bentuk yang aneh seperti itu.
Setengah jam kemudian kami berkumpul kembali, membicarakan rencana apa yang harus kami lakukan. Semangat yang tadinya menggelora, seketika melebur bersamaan dengan teriknya panas matahari. Sembari berkumpul, aku mengatakan pada seluruh pasukanku untuk tetap tenang dan selalu waspada. Aku meyakinkan pasukanku bahwa sebenarnya gumpalan-gumpalan putih itu berisi ulat-ulat bulu yang sedang tidur panjang dimusim kemarau. Sesungguhnya akupun juga tidak tahu menahu apa yang ada di dalam gumpalan-gumpalan putih tersebut, aku hanya ingin pasukanku untuk tetap tenang dan terkendali sehingga tidak terpecah belah. Kemudian ide cemerlang muncul dari perutku, untuk melakukan penyerangan 3 hari kemudian.
Wahai kawan-kawanku... Ayo kita serang gumpalan putih itu! Buat tidur panjang mereka menjadi tidur selamanya..!!!” Teriaku pada pasukanku dihari H. Kami berjalan berurutan melewati ranting-ranting pohon, mendekati gumpalan putih tersebut. Sialnya, seluruh gumpalan putih tersebut bergerak dan berayun-ayun, sehingga membuat pasukanku menempel dikulit gumpalan putih tersebut. Entah terbuat dari apa gumpalan putih tersebut hingga membuat tubuh kami tidak berkutik karena saking lengketnya. Lagi-lagi kami dibuatnya bingung tak berdaya. Setelah beberapa menit kemudian, gumpalan putih tersebut telah tertempel tubuh pasukan semutku. Yang membuat kami lebih panik lagi adalah kulit gumpalan putih tersebut mengelupas dan keluarlah sosok binatang yang bersayap warna-warni. Para manusia menyebutnya sebagai Kupu-kupu. Beberapa saat kemudian seluruh gumpalan putih tersebut telah terkelupas dan ratusan kupu-kupu mulai beterbangan disekitar kami. Mereka memperhatikan kami yang sedang keheranan, lalu mereka terbang menjauh, meninggalkan pohon mangga kami dengan tanpa pesan sedikitpun.
Sejenak aku berfikir, apakah perang ini sudah berakhir? Jika iya, maka kami akan sangat-sangat bersyukur. Ternyata memang benar, perang ini telah berakhir, tak peduli tentang berubahnya Bangsa ulat menjadi Bangsa kupu-kupu yang kemudian terbang menghilang tanpa pesan, intinya kini Bangsa semut telah kembali tentram seperti dahulu. Kami pun kembali ke sarang kami dengan menyanyikan lagu kebangsaan kami “Jayalah Semut”.
Malam ini keadaan begitu riuh, bukan riuh oleh tangisan seperti hari-hari kemarin, tetapi riuh karena nyanyian kegembiraan Bangsa semut yang sedang merayakan pesta kemenangan. Aku pandangi mereka dari kejauhan, karena saat ini aku sedang duduk menyendiri untuk tetap tenang. Terlebih lagi bulan sabit malam ini seolah-olah tersenyum kepadaku, sayang jika dilewatkan. Menambah semangatku juga dalam menuliskan perjalanan hidupku pada sebuah buku mungil ini.  Sembari menulis, dan memandang bulan, aku teguk sedikit demi sedikit sebotol minuman rasa jeruk ini, minuman yang aku curi dari dalam garasi rumah diseberang selatan pohon manggaku. Dengan pandangan yang sedikit berkunang-kunang, aku melihat ada 12 bulan sabit di langit dan ribuan bintang kecil yang tiba-tiba berjatuhan menancap di dadaku. Menggetarkan seluruh tubuhku dari antena hingga ujung kaki. Rasanya dingin tetapi sangat menyakitkan. Oh.. sial.. aku mencoba membaca tulisan yang ada di botol minumanku, “Racun Serangga rasa jeruk”, Oh.. Ibu.. maafkan aku, kebiasaanku mencuri makanan tak bisa hilang, bahkan ketika aku sedang bersyukur kepadamu dan kepada-Nya.

***

Jogja, Juni 2015

Jumat, 19 Juni 2015

TINJAUAN DESAIN

TINJAUAN DESAIN
POSTER FILM INSIDIOUS


A.            Identitas / Data Karya

1.        Judul Karya : INSIDIOUS
2.        Pencipta Karya : Leigh Whannell
3.        Tahun Pembuatan Publikasi : 14 September 2010
4.        Ukuran Karya : 42 x 60 cm
5.        Gaya Desain : Latemodern
·      Berprinsip simplicity
·      Komunikasi yang terkonsep
·      Cerdas dan kreatif
·      Pencampuran berbagai teknik fotografi, typesetting dan printing
6.        Tipografi :
·      Menggunakan font jenis Sanserif bernama Neutraliser Sans Bold.
·      Font Capital (Huruf Besar)
·      Perpaduan posisi vertikal dan horisontal

B.            Identifikasi

1.        Tanda Visual
a.         Ilustrasi : Foto yang menggambarkan seorang anak kecil laki-laki berkemeja merah biru yang sedang berdiri di depan rumah tingkat yang terbuat dari kayu dan sedikit tembok, di bawah langit gelap yang berawan.
b.         Warna
·      Langit berwarna biru tosca tua dengan perpaduan gradasi warna putih gelap.
·      Anak kecil laki-laki memakai kemeja kotak – kotak warna merah dan biru di sisi tepi dan juga warna hitam di sisi tengah.
·      Sebuah rumah kayu yang didominasi oleh warna biru tosca pada kayunya dan warna putih pada temboknya.
·      Sebuah halaman yang didominasi oleh warna hijau tua.
c.          Layout :  Layout rata tengah
d.         Pose : Anak kecil berdiri di depan sebuah rumah.
e.         Ekspresi : Raut wajah yang datar dan tatapan mata yang tajam.

2.        Tanda Verbal
a.         Headline : INSIDIOUS
·      Menggunakan font Neutraliser Sans Bold
·      Huruf Capital
·      Posisi vertikal
·      Center
·      IN dan DIOUS berwarna putih
·      SI berwarna merah
b.         Subheadline : It’s not the house that’s haunted
·      Menggunakan font Neutraliser Sans Bold
·      Huruf Capital
·      Kata “that’s” ukurannya dibuat lebih kecil dari kata-kata  lainnya.
·      Berwarna putih
c.          Body Copy : From the makers of PARANORMAL ACTIVITY and SAW
·      Menggunakan font Neutraliser Sans Bold
·      Huruf Capital
·      Berwarna putih
d.         Closure : in theaters everywhere april 1 (dan bagian atas dan bawahnya yang tidak dapat terbaca karena terlalu kecil)

C.             Deskripsi

1.      Ikon
Dalton : Tokoh utama dalam film INSIDIOUS adalah Dalton, seorang anak kecil laki-laki yang memiliki kemampuan melihat iblis dan sekaligus dapat memasuki dunia iblis lewat mimpinya ketika tidur.
2.      Simbol
Rumah : Sebuah rumah tingkat yang sebagian bangunannya terbuat dari kayu, juga sebuah rumah yang telah dipenuhi dengan roh-roh jahat yang mengancam bagi pemilik rumah sejak dahulu.
Langit Mendung : Sebuah suasana kegelapan yang menaungi rumah tua dan sosok anak kecil yang berada dibawahnya.
3.      Indeks
Roh-roh yang telah lama bersemayam di dalam rumah tersebut  mendambakan kesempatan untuk dapat masuk dalam kehidupan Dunia melalui raga Dalton.

D.            Makna

1.         Denotasi :  Sosok anak kecil laki-laki berambut lurus warna hitam, berkemeja kotak-kotak warna merah biru dengan raut wajah yang datar dan tatapan mata yang tajam, sedang berdiri di depan rumah tua yang tampak menyeramkan dengan suasana langit yang berawan dan mendung.

2.      Konotasi
a.         ANAK KECIL :
·           Konotasi dari rasa takut, gelisah, bingung dan kekosongan. Sehingga digambarkan dengan raut wajah yang datar, akibat dari teror roh-roh jahat yang bersemayam di dalam rumah yang ada dibelakangnya.
·           Berdiri di depan rumah dapat dikonotasikan sebagai rasa ingin bebas dari pengaruh roh-roh jahat.
·           Sosok Dalton yang dapat melihat sekaligus masuk ke dalam Dunia Iblis dikonotasikan sebagai sebuah alat (mediasi) perantara para roh jahat untuk memasuki Dunia manusia.
b.         RUMAH TUA :
·           Bangunan rumah besar dan tua yang terbuat dari kayu dikonotasikan sebagai bangunan yang paling disukai oleh hantu/iblis karena rumah yang terbuat dari kayu cenderung memiliki tingkat kelembaban udara yang tinggi, menurut paranormal keberadaan para hantu/iblis banyak ditemukan di tempat-tempat yang memiliki tingkat kelembaban udara tinggi.
·           Tanaman-tanaman di halaman rumah yang layu dikonotasikan sebagai sebuah kematian yang mengancam, baik mengancam para penghuni rumah atau bahkan lingkungan sekitarnya.
·           Warna putih dan biru tosca pada bangunan rumah dapat dikonotasikan sebagai sebuah ilusi atau kebohongan, Jika dari luar rumah tersebut tampak cerah tetapi sesungguhnya ada suatu kegelapan di dalamnya.
c.          Teks INSIDIOUS :
·           Posisi Vertikal : Merupakan konotasi dari sebuah garis lurus yang menghubungkan antara langit dan bumi atau neraka dan surga dalam hal ini dapat diartikan pula sebagai garis yang menghubungkan antara hidup dan mati.
·           Posisi Center : Merupakan konotasi dari roh-roh jahat yang bersembunyi di dalam raga anak kecil tersebut.
d.    AWAN MENDUNG GELAP : Merupakan konotasi dari suatu kegelapan yang menyelimuti suasana baik di luar rumah maupun di dalam rumah. Sehingga seolah-olah tidak ada pencerahan (harapan) di tempat tersebut.
***


Semoga bermanfaat...

Rabu, 13 Mei 2015

Gaga Sewaktu Kecil


Hari ini adalah hari ke-6 setelah Lebaran Idhul Fitri di tahun 1995. Di atas meja ruang tamu masih menyisakan beberapa jajanan: Astor, Wafer Nissin dan tidak ketinggalan pula Biskuit Kong Guan. Disanalah aku berada. Sebagai seorang anak kecil, aku suka sekali dengan cokelat, sama seperti anak kecil pada umumnya.

Sore ini, aku menyibukan diri dengan menjilati cokelat yang ada di beberapa biskuit Kong Guan, sisa-sisa biskuit yang cokelatnya telah kujilati aku masukan kembali ke dalam kalengnya, tujuannya adalah supaya tidak mubazir, terlebih lagi gigiku yang gupis terasa sedikit linu.

Waktu maghrib hampir tiba, aku mandi dengan sabun Casson Imperial Latter yang telah aku ukir menjadi bentuk televisi dan tidak lupa juga menyikat gigi dengan pasta gigi Kodomo rasa pisang, hmm... nikmat sekali mandiku.

Jam 7 malam, rumah kedatangan beberapa tamu. Mereka semua adalah kerabat baik ayahku di kantor. Silaturahmi memang sudah menjadi tradisi kami setiap lebaran Idhul Fitri. Mereka semua asyik mengobrol layaknya orang dewasa, sambil minum teh hangat, kopi dan juga makan biskuit Kong Guan dengan lahapnya.

Di dalam keramaian, aku menunjuk ke arah kaleng biskuit tersebut sambil berkata dengan lantang “Hiii.... padahal cokelatnya udah aku jilati...”.

Jumat, 08 Mei 2015

BIANGLALA IMAJINER


Sebuah cerpen fiksi

Banyak orang berkata “Jatuh Cinta itu Berjuta juta Indahnya”, tapi tidak denganku, bagiku jatuh cinta bermilyar milyar indahnya, aku bisa merasakannya, meskipun tidak pernah aku hitung hingga bermilyar jumlahnya karena ketika itu hitunganku terhenti diangka 14. Selanjutnya, waktu lah yang telah membuat hitungannya menjadi bermilyar milyar keindahan.

Pagi ini, bulan Januari tahun 1990 yang begitu lembab dan sejuk, aku menulis sambil mendengarkan kicauan sepasang burung merpati di dalam sangkar kayu yang di letakan tepat di atasku, di teras sebuah rumah besar peninggalan Belanda yang aku tinggali selama lebih dari 35 tahun bersama 5 temanku tercinta. Sementara, sudah kuhabiskan dua batang rokok kretekku dan secangkir kopi hitam dengan sedikit gula, cukup sederhana untuk menciptakan pagiku yang manis.

Sebagai seorang laki-laki tua yang entah sudah berapa tahun umurku, tidak banyak lagi aktifitas berat yang bisa aku lakukan. Aku tidak lagi muda. Bahkan tulang-tulangku kini sudah tak mampu lagi menopang beratnya sebuah tas carrier yang dulu sering aku pakai untuk mendaki gunung, kulitku yang kriput ini pun sudah tak mampu lagi berpapasan dengan teriknya matahari dan dinginnya puncak. Terlebih lagi aku sedang sakit yang entah sakit apa dan entah kapan akan sembuh.

Pagi ini adalah akhir pekan, aku sengaja tidak mandi dan tidak sarapan indomie kesukaanku. Karena dari dulu aku pun selalu begitu diakhir pekan. Seperti biasa, dari kejauhan, terlihat Nn. Martawi yang sudah aku tunggu-tunggu sedang memasuki pintu gerbang menuntun sebuah sepeda ontel tua dengan keranjang besi di belakangnya, membawa sekitar 6 bungkusan bubur ayam untuk kami. Yesss....!

Nn. Martawi adalah salah seorang perawat disebuah Rumah Sakit Jiwa Darkem, ya.. disini, tempat dimana aku dan 5 temanku tinggal selama 35 tahun lebih. Wajahnya yang manis, berambut hitam panjang, berbibir merah dan bertubuh montok, menyamarkan fakta bahwa sesungguhnya Nn. Martawi telah berumur 35 tahun. Ia tidak memiliki anak apalagi suami, ia habiskan seluruh hidupnya untuk mengabdi di Rumah Sakit Jiwa Darkem ini. Dia merupakan perawat yang rajin dan ulet, terbukti dengan segala keindahan dan kerapihan yang ada di Rumah Sakit ini, bahkan ia rela membersihkan kamar tidurku yang basah karena tidak sengaja aku kencingi ketika aku tidur. Terkadang aku malu dengannya, entah kenapa aku tidak bisa mengontrol keluarnya air kencing disaat aku tidur. Sehingga aku kerap memberikannya hadiah sebagai tanda terima kasihku kepadanya, hadiah yang aku buat sendiri, Sebuah lukisan pemandangan dua buah gunung kembar disebelah kanan dan kiri, dengan jalan berbelok yang dibuat mengecil ketika mendekati gunung, dengan sawah yang menguning, langit yang biru, 1 buah matahari kuning yang bundar dan seorang wanita di langit. Nn. Martawi bertanya “ Siapa wanita yang ada di langit itu Gaga?”, “Entahlah, mungkin malaikat” Jawabku sambil sedikit menaikan bahu. Nn. Martawi tersenyum sambil menganggukan kepala. Dalam hati, sebenarnya aku menjawab “Itu kamu”. Hahaa... Aku kira cukup sudah bercerita tentang Nn. Martawi, aku hanya tak ingin kalian mengenal lebih jauh tentangnya, karena bisa membuatku cemburu.

Waktu sudah menunjukan jam setengah sepuluh, sebungkus bubur ayam sudah aku habiskan, 2 batang rokok kretek pun sudah aku hisap pula. Kini aku harus meminum obatku yang jumlahnya satu lusin, salah satu obatnya bernama Benzodiazepin. Lalu aku bergegas menuju Aula Rumah Sakit bersama ke 5 temanku, dengan pakaian yang sedikit rapi.

Tepat jam 11 siang, aku dan 5 temanku mulai memasuki Aula dengan berjalan berjejeran layaknya aktor film. Sebelum memasuki ruangan Aula yang pintunya bertuliskan “No Smoking”, aku sempatkan mematikan rokoku di lidah lalu kusentilkan kearah atas menggunakan jari tengahku. Seperti biasa, kami diberi tepuk tangan yang meriah oleh 12 orang petinggi pengurus Rumah Sakit ini, termasuk juga Nn. Martawi yang senyumnya bisa aku lihat ketika aku mandi. Seperti yang sudah-sudah, selain  berdiskusi tentang perkembangan kesehatan kami, tujuan kami berkumpul di Aula juga karena para pengurus Rumah Sakit ingin membahas rencana acara seminar psikologi kejiwaan yang akan diselenggarakan oleh sebuah Universitas terkemuka yang ada di kota ini, besok senin pagi. Kami ber 6 diberi kehormatan untuk menjadi narasumber diacara seminar tersebut, walau tidak ada satu pun peserta yang hormat kepada kami, kami cukup senang.

Malam ini hujan dan salju turun dengan bersamaan, butiran salju yang menempel di dedaunan hanya mampu bertahan 4 detik saja karena langsung dilelehkan oleh tetesan air hujan. Seperti biasa, aku duduk berselonjor di kursi bambu panjang di teras Rumah Sakitku, sambil menulis dan menikmati kacang rebus buatan Nn. Martawi. Kali ini tidak seperti biasanya, aku tidak melihat ke 5 temanku di teras, di dalam, di luar dan dimana-mana. “Mba.. kemana perginya ke 5 teman tercintaku. Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa?” Tanyaku kepada Nn. Delilah, salah seorang perawat yang kebetulan lewat dibelakangku. Ia tersenyum dan menjawab “Mereka disumbangkan oleh bapak direktur ke Museum Wayang Kulit milik pemerintah daerah tadi sore”. “Lho.. kenapa mereka disumbangkan? Aku khawatir mereka tidak bahagia disana”. Tanyaku yang merasa keheranan. Kuhisap lagi rokoku untuk mengurangi kegelisahan kemudian aku bertanya lagi, namun tiba-tiba Nn. Delilah sudah pergi. Aku bergegas berdiri melihat suasana disekitarku, aku masih benar-benar tidak menyangka, mereka meninggalkanku begitu saja setelah bertahun-tahun kami hidup bersama, bermain bersama, bersendau gurau bersama, bercakap-cakap bersama. Aaah... aku tidak suka suasana seperti ini, perasaanku tidak karuan, aku merasa linglung, jantungku berdebar kencang, kepalaku seakan berputar-putar. Aku berlari ke tengah lapangan di depan teras, kurebahkan tubuh rentaku bersama guyuran air hujan dan salju, seekor burung gagak hitam beterbangan di atasku dengan suaranya yang khas. Dari pintu Rumah Sakit, terdengar Nn. Martawi memanggilku “Gaga, masuk lah.. aku tak ingin kamu demam”. “Yaaa... aku masuk”. Aku berdiri dan kemudian berjalan masuk.

Di dalam rumah, Nn. Martawi memberiku handuk dan pakaian kering sambil menanyaiku “Sebenarnya apa yang telah terjadi Gaga?”. Lalu aku ceritakan semuanya tentang kepergian 5 temanku itu. Nn. Martawi memelukku untuk membuatku tenang, bukannya tenang, aku malah menjadi tegang.

Ini adalah senin pagi yang cerah, Aku tidak bisa lagi mendengar celotehan para sahabatku. Aku lekas bergegas mandi menggunakan air kelapa yang baru saja aku petik dari pohon di depan Rumah Sakit. Rok merah dan jas hitam juga telah aku siapkan di atas meja kamarku untuk aku kenakan di acara seminar tersebut. Setelah semua perlengkapanku telah siap, Nn. Martawi menawarkan diri untuk mengantarku, aku meng-iyakan tawarannya. Karena lokasinya cukup jauh dan Rumah Sakit hanya memiliki satu mobil, maka kami berdua berangkat menggunakan mobil ambulan. Kami siap berangkat dengan Nn. Martawi sebagai sopirnya. Ditengah perjalanan terkadang aku terpaksa menyalakan sirene agar tidak terjebak kemacetan ketika melewati perempatan atau pertigaan. Setelah satu jam perjalanan, akhirnya kami sampai disebuah gapura besar yang dipasangi spanduk bertuliskan “Selamat datang para peserta Seminar Psikologi Kejiwaan”.

Kedatangan kami rupanya disambut dengan hangat oleh panitia. Sambil tertawa cekikikan, para panitia memandu kami menuju ruang Seminar yang gedungnya besar. Aku memgang erat tangan Nn. Martawi untuk menghilangkan rasa gerogiku. Setelah moderator selesai berbicara, panitia mempersilahkan aku duduk ditempat duduk tepat ditengah backround panggung, sedangkan Nn. Martawi duduk di kursi VVIP. Langkah kakiku diiringi oleh tepukan tangan dan tawaan yang sangat riuh oleh para peserta. Kemudian aku duduk sambil memandang cahaya matahari yang menembus salah satu kaca jendela gedung. Sebelum berdiri dan berbicara, aku menyempatkan untuk menyalakan rokokku agar lebih percaya diri, walaupun aku dianggap gila tetapi aku tetap butuh yang namanya rasa percaya diri. Pembicaraanku pun dimulai dengan tanya jawab.

Peserta 7: Pak, kenapa anda memakai jas hitam dan rok merah?

Aku: Karena jas yang coklat dan rok yang hitam sedang dicuci.

Peserta 22: Jika anda masih ingat, tolong jelaskan apa yang terjadi dengan kaki kanan anda, mengapa menggunakan kaki palsu?

Aku: Pertanyaan bagus nak... aku tak pernah lupa. Kaki kananku patah sudah sejak aku duduk di bangku SMP, ketika itu aku sengaja mematahkannya menggunakan balok kayu yang kupukulkan berkali-kali, sekedar untuk membuktikan kepada kekasihku bahwa putus cinta dengannya lebih menyakitkan dibanding patahnya kakiku.

Para Peserta: Huuuuuuuuu....

Peserta 34: Kalau boleh tau, Kenapa anda begitu mencintai kekasih anda ketika itu?

Aku: Sebagai remaja laki-laki, aku sangat menyukai aktifitas seks. Hanya dengan dia, aku bisa merasakan sensasi seks yang sehebat-hebatnya, bagaikan Bianglala.

Peserta 35: Sensasi seks hebat macam apa yang anda rasakan ketika bersamanya?

Aku: Hmm... Bagiku dia itu unik. Wajah, suara, rambut, postur badan, warna kulit, pikiran, sifat, umur, payudara dan bahkan maaf, vaginanya pun bisa berubah ubah sesuai dengan yang aku inginkan. Hahaha...

Para Peserta: Huuuuuuuuuu.....

Sejenak suasana gedung menjadi riuh oleh tepukan tangan para peserta. Aku sempatkan meminum teh hangat yang disiapkan panitia untuk menyegarkan tenggorokanku.

Peserta 4: Saya penasaran, masa iya sih ada perempuan seperti dia. Tolong ceritakan awal anda bertemu dengannya!

Aku: Pada suatu siang, di Sekolah SMPku. Aku mengikuti pelajaran bhs. Indonesia di perpustakaan bersama 35 siswa yang lain. Ketika itu, Ibu guru menjelaskan panjang lebar tentang penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, sedangkan aku lebih memilih untuk melamun hingga ketiduran.

Peserta 4: Lalu???

Aku: Tidak ada satu pun teman-temanku yang membangunkanku, keterlaluan sekali mereka, teman macam apa itu! Sialnya, aku terbangun setelah maghrib. Beberapa saat setelah aku menyalakan sakelar lampu, baru lah sosok cantiknya muncul dari balik lemari buku. Aku mendekati untuk mencoba berkenalan.

Peserta 3: Siapa namanya Pak?

Aku: Dengan nada yang lirih, dia berkata “Ima”. Sejak saat itu, hubungan kami semakin hari semakin dekat layaknya orang dewasa yang bersuami istri. Dia selalu mengajaku berkelana keliling Dunia, sekedar untuk mencari sensasi berhubungan seks yang ekstrim.

Peserta 105: Bagaimana caranya kalian keliling Dunia diusia yang semuda itu?

Aku: Mudah saja bagi Ima, aku hanya disuruhnya memilih salah satu tempat yang ada di buku Atlas kemudian aku tidur sambil memeluknya. Setelah itu, aku terbangun dan telah berada ditempat yang aku inginkan. Misalnya ketika aku menginginkan sebuah pegunungan Es Alven, maka kami sampai disana. Ketika itu kami tinggal disebuah kabin kayu berukuran 5 kali 5 meter, diantara pohon-pohon cemara yang dihujani oleh salju, dengan pegunungan es sebagai backgroundnya. Seperti biasa, dicuaca yang dingin seperti itu, hal yang paling menyenangkan adalah bercinta, telah tersedia pula coklat cair hangat yang bisa kami pakai untuk berendam bersama. Hmmm... aku masih ingat betul manisnya coklat tersebut yang aku jilati di lehernya.

Para Peserta: Huuuuuuuuuuuuuuuuu....

Nn. Martawi: Hayoo pak Gaga... jaga ucapan...

Aku: Oke Nona...

Peserta 58: Hahahaha... mendengar cerita anda, sungguh membuatku iri Pak Gaga. Menurut anda, perjalanan kemana kah yang paling berkesan?

Aku: Perjalanan paling berkesan, Gunung Walu, Di gunung itu lah kami terpisah hingga detik ini.

Peserta 29: Tolong ceritaan kronologi terpisahnya anda dengan sosok Ima!

Aku: Pada suatu sore, kami berjalan menyusuri hutan yang kering. Semangatku membara walaupun berjalan dengan terseok-seok karena kaki palsuku yang sering kendor bautnya dan tas carrier yang berat. Sesekali si Ima menyemangatiku “Gaga.. Gaga.. Gaga..!” Setelah berjalan selama 2 jam, tepat ketika mentari mulai menghilang dan langit mulai menghitam, kami sampai di dua pohon beringin besar sebelum mencapai puncak. Kami berjalan di antara dua beringin tersebut, itu lah awal mula terpisahnya aku dengan Ima. Setelah beberapa detik aku melewati dua pohon beringin tersebut, tiba-tiba aku telah berada disebuah hutan besar yang ditumbuhi aneka macam pepohonan yang ukurannya besar-besar dan dipenuhi dengan semak belukar. Aku berteriak memanggil Ima, tapi tidak ada jawaban. Aku pun berlari kesana kemari mencari Ima, tapi tetap saja tidak kutemukan. Jangankan menemukan Ima, petani yang lewat pun tidak ada. Pencarianku tersebut berlangsung hingga 5 tahun, aku terjebak di dalam hutan yang sangat besar.

Para Peserta: Huuuuuuuuuuuuu.....

Tidak terasa waktu menunjukan jam 12 siang, acara seminar diistirahatkan sejenak hingga jam 1. Aku dan Nn. Martawi dipersilahkan makan siang dengan nasi kotak lezat yang diberikan oleh panitia. Kami makan di bawah sebuah pohon ketapang yang rindang di samping gedung, nikmat sekali. Sesekali Nn. Martawi menyindir tentang Ima, aku hanya bisa tertawa. Akhirnya waktu istirahat pun telah habis, seminar kembali dilanjutkan.

Aku: Ya.. Singkat cerita, aku tidak pernah menemukan Ima lagi hingga detik ini.

Peserta 17: Lalu apa yang anda temukan?

Aku: Nah... Pertanyaan yang bagus nak. Setelah aku menemukan sungai dan mencoba menyusurinya selama 7 bulan, aku menemukan sebuah Rumah Besar peninggalan Bangsa Belanda. Di atas pintu gerbangnya bertuliskan “Rumah Sakit Jiwa Darkem”. Kemudian aku masuk, aku melihat 5 orang yang sedang bermain bola di udara. Perasaanku lega sekali karena untuk pertama kalinya dalam 5 tahun akhirnya aku menemukan orang yang bisa kuajak bicara. Mereka menyambutku dengan ramah, kami pun berkenalan, mereka memiliki nama Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa. Sejak saat itu lah mereka menyuruhku untuk tinggal saja di Rumah Sakit tersebut. Aku diperkenalkan kepada para pengurus Rumah Sakit untuk mendapatkan ijin tinggal. Akhirnya, aku tinggal menetap disana hingga sekarang ini yang telah berjalan selama lebih dari 35 tahun. Aku senang sekali tinggal disana bersama orang-orang yang mau menerimaku apa adanya, walaupun terkadang juga sedih ketika tiba-tiba teringat kembali tentang Ima yang entah kemana perginya. Nah.. begitulah sedikit ringkasan tentang hidupku. Mohon maaf apabila ada kata-kataku yang tidak berkenan di hati kalian semua.

Tepuk tangan para peserta menggema di dalam gedung Seminar tersebut, mengiringi aku yang berjalan menuju kursi VVIP untuk kembali kepada Nn. Martawi.

Moderator: Yaa... barusan kita telah mendengarkan sebuah cerita hebat pengalaman hidup dari seorang imajiner yang menderita kelainan jiwa sejak kecil. Pelajaran yang bisa kita ambil darinya adalah tentang betapa luasnya Imajinasi, imajinasi dapat menciptakan Dunianya sendiri, Dunia yang hanya bisa dirasakan oleh tiap-tiap individu yang mengalaminya. Berimajinasi lah sesuai kemampuan kalian masing-masing, tapi ada satu hal yang harus digaris bawahi. Imajinasi itu ada batasannya, kalian harus bisa membedakan mana imajinasi yang positif dan mana imajinasi yang negatif. Selain itu, kalian juga harus bisa membedakan mana yang sebenarnya Imajinasi dan mana yang kenyataan. Itu lah yang membedakan antara manusia yang sehat dan yang sakit jiwanya.

Setelah acara seminar ditutup oleh moderator, kami meninggalkan ruangan sambil bersalaman dengan para pengurus acara dan tamu-tamu yang lain. Sebelum aku masuk ke mobil, seorang peserta yang cantik memberiku sebuah bingkisan kecil sebagai ucapan terimakasih, katanya. Lalu aku masukan ke dalam kantong jasku. Kemudian kami pulang, kali ini aku yang menyetir.

Waktu menunjukan jam 4 sore, ditengah perjalanan Nn. Martawi terlihat sedikit murung dengan memalingkan wajah ke kaca sebelah kiri, lagi lagi ia menyinggungku tentang Ima.

Nn. Martawi: Apakah kamu masih mencintai Ima?

Aku: Mmm.......

Nn. Martawi: Jawab!

Aku: Iya, aku masih mencintainya!

Nn. Martawi: Owh.. aku ingat ceritamu yang tadi bahwa Ima bisa menjelma menjadi sosok yang berbeda-beda.

Aku: Iya.. itu benar.

Nn. Martawi: Bagaimana jika aku adalah Ima?

Aku: Hahaha... Tak mungkin... jangan bercanda ah...

Nn. Martawi: Aku tanya, Bagaimana jika aku adalah Ima?

Aku: Hmmm.... Aku ingin keliling Dunia bersama.

Nn. Martawi: Dunia macam apa yang kamu inginkan Drimiku?

Aku kaget bukan kepayang mendengar kata “Drimiku” keluar dari mulutnya. Seketika tubuhku menjadi kaku, lalu aku mencoba menoleh kearahnya. Dan ternyata memang benar, yang aku lihat sudah bukan lagi Nn. Martawi, melainkan sosok yang tidak aku kenal. Laju mobil semakin tak terkendali. Ia bertanya lagi.

No Name: Dunia macam apa yang kamu inginkan Drimiku?

Aku: Dunia Nyataaa!!!

No Name: Keinginanmu akan segera terkabulkan Drimiku.

Dan mobil ambulanku terperosok ke dalam jurang sedalam 17 meter lalu kemudian masuk ke dalam danau. Aku sempatkan membuka bingkisan kecil yang tadi aku masukan kantong, astaga... ternyata berisi sebuah foto usang yang menggambarkan masa kecilku di SMP, sedang tergantung kaku di ventilasi pintu perpustakaan sambil memegang buku Atlas. Dalam hati aku berkata “Siapa kah perempuan cantik yang memberikan bingkisan kepadaku?”.


Jogjakarta, 28 April 2015