CATATAN AKHIR KUPU
Sebuah Cerpen Fiksi Kedua Tentang Kupu-kupu
Sembari menunggu hujan reda, aku sempatkan untuk
menghabiskan setetes madu menu sarapanku dipagi ini. Madu super nikmat yang aku
kumpulkan dari bunga pohon kamboja tadi malam. Kesunyian jiwa dan lembabnya udara
disekitar pohon kamboja semalam telah memberiku secercah semangat beserta
inspirasi, sehingga secara tak sadar, aku mampu meracik suatu ramuan madu yang
nikmat dari tujuh bunga kamboja yang berbeda warna. Aku menamakannya Madu
Pelangi.
Perkenalkan, aku adalah seekor kupu-kupu jantan
bersayap merah jingga yang tampan. Satu tahun yang lalu, aku menemukan buku
kecil ini tergeletak di bawah sebuah pohon mangga. Setelah aku baca ternyata ini
merupakan sebuah buku catatan harian seekor semut bodoh yang mati karena
meminum racun serangga, hahaha. Sebuah catatan yang menurutku tidak menarik
sama sekali, tetapi buatku itu cukup menghibur lah dan harus aku syukuri pula,
karena adanya dia, aku bisa ikut menulis di bukunya.
Inilah aku, seekor kupu-kupu jantan, sejenis fauna yang
diagung-agungkan oleh manusia, namaku sering dihadirkan pada sajak dan
lagu-lagu mereka, aku pun selalu menjadi icon tanda cinta oleh manusia. Sebagai
kupu-kupu yang teramat kecil bagi Dunia, aku sangat bangga atas diriku. Aku ditakdirkan
terlahir menjadi kupu-kupu, bukan semut. Aku pernah mendengar para manusia
bercakap tentang filosofi semut, mereka berkata: “Hidup harus saling tolong menolong dan bergotong royong layaknya para
semut.” Hmm.. tapi aku tidak peduli, bagaimanapun juga semut tetap lah
semut, dari bentuknya saja sudah tidak menarik untuk dilihat.
Aku memiliki perjalanan hidup yang panjang, sebelum
menjadi bentuk yang seindah ini, aku adalah seekor ulat bulu yang jelek dan
menjijikan. Oiya.. sebelumnya aku ingin meminta maaf atas penjajahan oleh
Bangsaku terhadap Bangsa semut dimasa silam. Seperti kita ketahui, hidup ini
adalah kompetisi, siapa yang kuat dia lah yang berkuasa. Aku akui Bangsa ulat
adalah Bangsa yang bersifat parasit, merusaki tanaman yang kami tinggali. Tapi
perlu diketahui, setelah kami bermetamorfosa (kata manusia) menjadi kupu-kupu,
maka kami adalah hiasan, hiasan yang menghiasi tanaman, tanaman yang pernah
kami rusaki. Bahkan Bangsa kami lah yang membantu bunga bunga berkembangbiak.
Suatu ketika pernah ada cerita tentang sekuntum bunga matahari yang rela rusak
daunnya saat dirinya ditinggali tiga ekor ulat, hanya karena ingin melihat tiga
ekor kupu-kupu yang indah. Intinya adalah, keindahan sejati baru bisa dinikmati
setelah merasakan yang buruk.
Banyak sudah waktu yang kuhabiskan untuk berkelana
sendirian, ya... aku sendirian. Tanpa teman bahkan kekasih, bagiku keduanya
cukup merepotkan, merepotkan jika aku pikirkan. Aku hanya malas jika harus ikut
memikirkan segala permasalahannya, dan lagipula aku pun juga tak ingin
membagikan masalah yang sedang aku pikirkan. Kukira itu adil.
***
Suatu hari dimusim panas pertengahan bulan September, aku
pernah terbang melintasi hamparan perkebunan bunga Lavender yang luas di atas
tanah berumput yang berbukit-bukit. Sinar matahari pagi saat itu seakan akan
menambahi intensitas warna dari setiap kelopak bunganya, ungu violetnya
benar-benar jujur. Harumnya semerbak hingga menusuk rongga trakeaku. Bahkan
saking harumnya, jika saja ada dua puluh empat manusia yang kentut, pasti tidak
akan tercium bau kentutnya. Angin yang sepoi-sepoi membuatku tak perlu
mengepakan sayap banyak-banyak, aku terbang layaknya burung Elang. Angin juga
membuat ujung-ujung bunga berayun-ayun ke depan dan ke belakang secara
bergantian, andai saja kalian ikut melihatnya, mungkin kalian akan takjub,
gerakan mereka seperti ombak di lautan. Saat itu, aku berkata dalam hati “Seperti ini kah bentuk surga itu?”.
Dilain waktu, pada musim hujan akhir bulan Desember,
aku juga pernah terbang melintasi sebuah gurun pasir yang bagiku terlalu luas
untuk diterbangi dan sangat tandus sampai sampai aku tidak sadar bahwa ketika
itu sedang berlangsung musim hujan. Tidak ada satupun bunga yang aku temukan,
kecuali buah Naga, buah yang konon katanya merupakan tanda cinta sang Raja Naga
kepada permaisurinya. Aku memakannya hanya untuk melepas dahaga karena cuaca
terlalu panas. Pasirnya yang putih bersih membuat mataku silau karena pantulan
sinar matahari, sehingga membuatku terbang dengan mata yang menyusut. Dalam
perjalanan tersebut aku melihat banyak sisa tulang belulang Bangsa manusia
maupun Bangsa binatang mamalia, karena terlalu panas dan tandus. Bahkan saking
panasnya, aku melihat beberapa bangkai Burung Bangkai dan Ular derik yang telah
mengering hingga hampir membentuk sebuah fosil. Apabila kamu ingin bertanya
mengapa aku bisa bertahan hidup ketika itu, maka aku akan menjawab, aku terbang
ketika malam dan aku masuk ke dalam badai pasir ketika siang, yang secara
otomatis membuatku semakin cepat melewati gurun pasir yang tandus itu. Aku
benar-benar kapok melewati tempat tersebut, dalam hati aku berkata “Seperti itu kah bentuk neraka itu?”.
***
Sekarang hari sudah mulai siang, matahari tepat di
atasku, Madu Pelangiku pun juga sudah habis empat tetes, sisanya aku simpan di
dalam sebuah guci keramik peninggalan temanku dari Bangsa Laba-laba. Aku akan bersiap
untuk terbang-terbang atau dalam bahasa manusia disebut jalan-jalan, menuju
sebuah taman di pinggiran kota, taman yang ditumbuhi aneka ragam bunga, tanaman
dan ikan-ikan koi yang asyik berenang di dalam kolam bulat berdiameter tujuh
meter.
Aku melihat ada tiga gasebu semi permanent yang terbuat
dari bambu. Gasebu pertama diisi oleh seekor kucing jantan coklat yang sedang
terlelap, gasebu kedua diisi oleh seorang ayah dan anak laki-lakinya yang masih
kecil sedang bercakap-cakap sambil menikmati es krim vanila, gasebu ketiga
diisi oleh gadis cantik yang sedang menyendiri sambil memegang sebuah buku berwarna
coklat berukuran A4.
Sembari menghisap madu pada bunga Sepatu berwarna
merah, aku sedikit menguping pembicaraan seorang ayah dan anak laki-lakinya
yang berada di gasebu kedua. “Yah... apakah
surga itu masih tersedia untuk kita? Surga yang kata ibu guruku berada di
telapak kaki ibu. Sedangkan, ibu telah meninggalkan kita sejak lima tahun yang
lalu ketika aku berusia tujuh tahun.” Tanya si anak dengan rasa keingin
tahuannya. “Tentu saja surga selalu
tersedia untuk kita nak.. Sekarang ibu sudah duluan berada di surga tersebut, ibu
sedang menyiapkan rumah untuk kita bisa bersama sama lagi disana.” Jawab si
ayah sembari menatap awan. “Yeee....
pasti sekarang ibu sedang membuat perpustakaan raksasa seperti yang aku
cita-citakan.” Kata si anak dengan nada gembira. “Iya.. Tapi ingat nak... selama ibu membuat perpustakaan tersebut, kita
harus tetap mendo’akan ibu.” Si ayah mencoba memberi pengertian. “Kenapa kita harus mendo’akan ibu Yah?”
Tanya si anak yang kebingungan. “Agar ibu
tau dan dengar, bahwa kita di Bumi ini juga sedang berjuang, berjuang untuk
bisa menyusulnya.” Jawaban si ayah dengan penuh keyakinan. “Ayo kita berjuang!” Kata si anak yang
tiba-tiba berdiri sambil menghormat menghadap langit.
Begitulah
percakapan mereka yang aku dengar, yang sekaligus juga menakutkanku, karena setelah
itu anak kecil tersebut mencoba mengejarku. Kemudian aku terbang menjauh untuk
mencari aman, mendekati bunga Matahari di dekat gasebu ketiga, disitu aku
melihat seorang gadis beparas manis, dengan mata indah yang pandangannya
kosong, dengan kulit berwarna sawo matang, dengan kepala yang dibalut kain
kerudung bermotif taman alias bunga-bunga, dengan baju gamis berwarna coklat
yang tidak bisa aku lihat lekuk tubuhnya. Aku mencoba terbang lebih dekat untuk
melihat buku apa yang sedang ia pegang, buku besar berukuran A4 dengan
sampulnya yang berwarna coklat. Dengan perlahan ia membuka lembaran-lembaran
bukunya sampai halaman empat, setelah kuhitung. Herannya, aku tidak menemukan
satu kata pun pada lembaran-lembaran buku tersebut. Jari-jari lentiknya mulai
meraba-raba permukaan kertas putih polos pada halaman empat di buku tersebut, wajahnya
terlihat sedikit tersenyum, menampakkan gigi serinya yang begitu rapih. Setelah
aku dekati, ternyata di dalam lembaran kertas putih tersebut memiliki motif
lingkaran–lingkaran kecil yang dibuat timbul. Aku menggambar motif tersebut
agar aku tidak lupa.
Aku sedikit heran, mengapa hanya dengan meraba–rabakan
jari pada lembaran kertas yang bermotif lingkaran kecil-kecil tersebut, bisa
membuatnya tersenyum.
Matahari telah menunjukan jingganya, satu per satu
makhluk hidup yang berkeliaran di taman mulai berangsur pergi. Menyisakan aku
dan bunga-bunga. Sementara itu, barisan lampu taman mulai menyala. Mencahayai bunga-bunga
yang sedari tadi aku hisap sari madunya. Tak lama kemudian, sekumpulan Laron
datang entah dari mana, mendekati lampu untuk sekadar terbang-terbang. Jumlahnya
terlalu banyak untuk kuhitung. Aku ikut bergabung dengan mereka, terbang dan
menari di dalam cahaya yang kekuning-kuningan. Seolah olah tak ada lagi beban
di dalam pikiranku. Dari kejauhan aku melihat 7 ekor burung gagak sedang
mengintai kami dari kejauhan, tapi aku tak peduli.
***
Jogja, Juni 2015