CATATAN AKHIR SEMUT
Sebuah Cerpen Fiksi Pertama Tentang Semut
Inilah aku, miniatur kecil yang sedang menjalani
kehidupan di bumi yang bagiku sangat lah luas, yang saking luasnya
sampai-sampai aku tidak percaya bahwa bentuknya bulat. Malam ini ditempatku anginnya
terasa begitu sepoi-sepoi melewati tubuh mungilku, membuat aku semakin yakin
bahwa angin ada karena bumi yang sedang berputar. Ya.. Disini lah aku, Bumi.
Bersama triliyunan saudaraku yang keseluruhannya dikenal sebagai sosok yang sopan,
rajin dan pekerja keras.
Pohon mangga, 13 April 1990. Menjadi hari kelahiranku,
aku menetas dari salah satu butiran telur yang jumlahnya mencapai ratusan. Telur
yang setelah beberapa hari dijaga oleh ibuku dengan setia. Aku menetas dengan
wujud seekor semut mungil berwarna hitam. Aku menjadi bayi semut yang paling
pertama menetas, yang kemudian disusul oleh ratusan saudara-saudaraku yang lain
secara berurutan. Tujuh menit berselang, keadaan di sarang menjadi begitu ramai
riuh, kami mencoba bergerak kesana kemari, keheranan dengan apa yang kami lihat
untuk pertama kalinya. Lalu aku peluk sosok ibuku dengat erat-erat, aku ciumi
kedua tangannya, kusujudkan kepalaku pada keempat kakinya. Dengan perasaan
linglung, aku berkata pada ibuku: “Ibuku
sayang, sebelum kau melupakan wajahku dan sebelum aku melupakan wajahmu,
ijinkan aku tuk mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepadamu yang
telah menetaskan kami semua. Ini merupakan anugerah terbesar dalam sejarah
hidup kami, kami telah diberi kesempatan untuk hidup di dunia ini, di bumi.”
Ibu tak mampu berkata-kata mendengar perkataanku, beliau hanya memeluku sambil
menangis, itu adalah sebuah pelukan terhangat yang pernah aku rasakan. Dengan
sedikit tersenyum, beliau menatap tajam mataku, lalu bebisik, “Selamat datang di Dunia nak..”. Kata
kata itu selalu kuingat.
Seiring berjalannya waktu, kami pun tumbuh menjadi
anak-anak semut (Semut ABG) yang riang dan gembira. Sebagai kakak pertama, aku
diberi hak untuk memimpin adik-adiku yang jumlahnya mungkin ratusan, aku tak
pernah menghitungnya. Masa kecil kami tersebut, banyak dihabiskan dengan
bermain permainan perang-perangan, pohon mangga tempat tinggal kami merupakan
tempat yang sangat menyenangkan untuk bermain. Batang pohonnya yang bertekstur sangat
cocok untuk bersembunyi ketika bermain perang-perangan, lalu kemudian
bergerilya. Permainan perang-perangan memang menjadi permainan favorit kami,
karena sangat tidak mungkin jika kami memainkan permainan petak umpet, kalian
tau sendiri lah. Kami semua kembar identik hingga ratusan jumlahnya, sampai
sampai, aku sendiri sebagai kakak tertua tidak bisa membedakan mana yang
bernama Sugara dan mana yang bernama Sugari.
Waktu yang terus berjalan, telah membawa kami pada masa
kedewasaan. Sebagai binatang, aku sadar bahwa aku dan saudaraku pasti mengalami
pertumbuhan, kepalaku yang dulu mungil kini mulai membesar, otomatis otakku
juga ikut membesar, tetapi aku merasa pikiranku tidak bertumbuh. Bahkan pohon
mangga tempat kami tinggal, sudah tiga kali berbuah saat musim hujan.
***
Malam ini adalah
malam yang dingin dengan langit yang berhias bintang-bintang dan satu buah bulan,
aku merebahkan tubuhku disalah satu ranting untuk bermalas-malasan sambil
menikmati potongan kecil kue brownies yang aku curi dari warung makan diseberang
barat pohon manggaku. Kulihat ada sepasang manusia remaja yang sedang asyik
merayakan tahun baru 1995 dengan bebakaran ikan guramih dan jagung. Hmm...
membuatku sejenak terdiam beberapa menit sambil menyimak. Kegembiraan terpancar
jelas di wajah mereka, salah satu dari mereka yaitu yang laki-laki berkata “Sayangku.. malam ini hanya ada kita berdua
di halaman belakang rumah ayahku. Aku ingin sekali merasakan nikmatnya surga
dunia bersamamu sayang, selagi tak ada yang melihat, hanya kita berdua saja.”
Dan sialnya, perempuan itu menganggukan kepala sembari tersenyum sebagai
isyarat bahwa ia setuju. Aku pun ikut tersenyum, lalu kembali kunikmati
potongan kue browniesku yang telah menunggu untuk dimakan sambil menyambut
datangnya hari baru, bulan baru dan tahun baru. Sekilas, bintang-bintang di
langit membentuk aneka titik-titik bagaikan ribuan semut yang bercahaya. Aku kembali
pandangi api yang menari-nari di bawahku yang kemudian membuatku mengantuk
sampai aku ketiduran.
Aku terbangun pagi hari diawal tahun 1995, udaranya
begitu lembab dan dingin karena gerimis. Aku melihat kebawah dan mulai turun.
Aku melihat api telah berubah menjadi abu, sampah-sampah berserakan, sepasang
remaja itu pun juga telah pergi. Para saudara dan teman-teman dari Bangsaku
sudah mulai berkumpul di area tersebut untuk berpesta, iya.. berpesta, karena
ada banyak sekali sisa-sisa makanan dan minuman kesukaan Bangsa semut. Aku
mengkomandoni mereka untuk mengambil semuanya yang mereka sukai asalkan jangan
saling berebut. Ternyata ada satu saudaraku yang kelakuannya membuat aku sempat
tertawa, aku melihat saudaraku itu sedang sibuk menjilati cairan kuning yang
menempel di sebuah alat kontrasepsi kepunyaan manusia, terlihat dari ekspresi
wajahnya, ia terlihat gembira sekali sambil berkata padaku “Enak... rasa durian bro.” Hahaha...
dasar semut bodoh, tidak pernah melihat dunia luar, padahal ia tidak tahu bahwa
sesungguhnya rasa strawberry jauh lebih enak.
Kemudian setelah semuanya selesai, aku pun menyuruh
mereka untuk segera pulang, sebelum hujan deras mengguyur karena sepertinya
langit mulai berwarna keabu-abuan. Seperti biasa, kami berjalan dengan
berurutan menuju rumah.
***
Waktu terus berjalan dan tak bisa dihentikan, kini aku
telah berada di tanggal 14 April 1995, dimana aku telah berumur 5 tahun. Aku
merasa jauh lebih tinggi dari sebelumnya, kepalaku pun mulai sudah lebih besar
dari sebelumnya dan tetap saja pikiranku tetap tidak meluas. Di ulang tahunku
yang ke 5 ini, aku berharap sekali ibuku datang untuk memeluku, tetapi nyatanya
memang tidak. Beliau telah lama pergi, bukan hanya meninggalkanku dan
saudara-saudaraku, tetapi juga meninggalkan bumi ini. Aku sudah dewasa, aku
sudah besar, sesungguhnya aku sudah tidak membutuhkan pelukan ibuku, kini
ibukulah yang membutuhkan do’a dariku sebagai tanda terimakasihku kepadanya. “Aku merindukanmu ibu.”
Sebagai seekor semut yang telah tumbuh besar walaupun
tidak akan mungkin melebihi besarnya manusia, aku kini sudah bisa mengangkat
beban yang beratnya 25 kali lebih berat dari tubuhku. Kadang aku berfikir,
Bangsa semut adalah Bangsa yang terkuat. Dalam berkehidupan, kami selalu
bergotong royong dalam aktivitas membawa makanan, agar dapat terselesaikan
dengan cepat, karena kami sadar, kami sangatlah kecil. Kami juga saling
berjabat tangan ketika berpapasan dengan teman-teman di jalan, karena kami sadar,
kami memiliki tangan. Sembari berjabat tangan, kami serentak berkata “Semangat”, sebagai tanda ucapan salam
kami. Bangsa semut meyakini bahwa kata semangat
bisa memberi kekuatan pikiran pada setiap individu untuk tetap bertahan dan
semangat dalam menjalani hidup ini.
Bulan April yang panas dan kering ini membuat aku
menjadi sibuk, sibuk bermalas malasan sambil menikmati manisan mangga muda
segar yang dibuatkan oleh semut-semut betina sebagai hadiah ulang tahunku.
Cukup sederhana untuk membuatku bergembira. Angin berhembus sedikit kencang ke
arah barat sebagai tanda bahwa bumi ini sedang berputar, hembusannya membuat dedaunan
yang kering berjatuhan menyamping. Alhamdulillah, aku tidak ikut jatuh, aku
kuat.
***
Awal bulan Mei 1995, menjadi sejarah bagi Bangsaku di
Republik Pohon Mangga. Ketentraman kami diusik oleh kedatangan ratusan ulat
bulu. Ternyata angin sepoi-sepoi yang kunikmati kemarin dibulan April membawa
serta telur-telur ulat bulu, Arrgh... Mereka menyerang Bangsa semut, hampir
seluruh penjuru pohon mangga berhasil dikuasai mereka. Selain kalah fisik, kami
juga jelas kalah ukuran, tubuhnya yang besar dan terlindung oleh bulu-bulu yang
lebat membuat kami kualahan, sehingga satu persatu rakyatku berguguran akibat
terkena racun yang terkandung di ujung bulu-bulu mereka. Bahkan untuk
menumbangkan 1 ekor ulat bulu saja kami harus mengeroyoknya dengan bantuan puluhan
pasukan secara bersamaan.
Hari demi hari keadaan kami makin memburuk, sedih dan
was-was selalu hadir di dalam pikiran, betapa tidak, kehidupan kami benar-benar
sudah di ujung tanduk, jumlah kami pun mulai berkurang, sesungguhnya aku
membutuhkan pasukan yang lebih banyak lagi, karena aku yakin dengan jumlah kami
yang semakin banyak maka pertahanan kami pun juga akan semakin kuat. Sehingga
aku memerintahkan para temanku yang jantan dan yang betina untuk saling
berhubungan badan, tujuannya agar saling berkembangbiak, sehingga jumlah kami
akan bertambah. Entah kenapa, para temanku yang tadinya berwajah suram tampak
menjadi sumringah setelah mendengar
ideku tersebut.
Setelah 1 minggu berjalan, akhirnya para betina mulai
mengeluarkan telur-telurnya, sedangkan para jantan sibuk mengawasi keadaan
sekitar. Disaat ketegangan melanda di dalam diri mereka, aku mengajak seluruh
pasukanku untuk menonton film-film yang bertemakan perang dan action, ini dimaksudkan agar mental
mereka terpacu, terinspirasi dan terdoktrin, sehingga mereka menjadi lebih
semangat dan berani dalam berperang.
Setelah 14 hari berlalu, seluruh telur telah menetas
dan bertumbuh. Kini jumlah kami luar biasa banyak, mereka (jantan) yang sudah
beranjak remaja mulai dilatih cara berperang oleh komandan pasukan. Sebagiannya
lagi sibuk membuat senjata yang terbuat dari duri pohon kaktus sepanjang 3 cm yang
diberi pegangan kecil berjumlah 4. Konon, duri kaktus dapat menembus perut ulat
bulu. Kemudian para betinanya sibuk dengan kegiatan konsumsi.
Sekarang kami benar-benar siap untuk berperang demi
harkat dan martabat Bangsa Semut di Republik Pohon Mangga ini. Kami bersiap
dengan membentuk barisan yang nampak padat namun kurang rapih, yang berjumlah
hampir 21.000 pasukan semut. Gemuruh benar-benar terdengar saat kami berjalan
sambil menghentakan kaki. Pedang sudah kami tajamkan, Jubah sudah kami kenakan,
Jebakan sudah kami pasangkan, dan Do’a juga sudah kami panjatkan di dalam hati
masing-masing. “Semoga Tuhan berada di
pihak kita.” Ucapku pada pasukanku. “Kalau
Tuhan berada di pihak kita. Lantas,
siapa yang berada di pihak musuh?” Pertanyaan salah satu pasukanku yang
merasa kebingungan.
Kami berjalan beriringan bermeter-meter jauhnya, menuju
lokasi sarang ulat bulu tersebut. Sepanjang perjalanan kami menemukan banyak
mayat saudara-saudaraku yang telah membusuk, sungguh aku benar-benar benci
dengan pemandangan seperti ini. Seakan-akan nyawa ini tidak ada artinya. Perang
ini harus segera diselesaikan agar tidak berlangsung terus menerus hingga ke
anak cucuku kelak. Selain itu, banyak pula sisa-sisa bulu yang beterbangan di
udara yang sudah hilang kandungan racunnya. Setelah 1 jam berjalan, akhirnya
sampailah kami di medan perang, sarang ulat bulu.
Aku sedikit kecewa dengan kejadian ini, disaat kami
telah benar-benar siap, entah kenapa meraka justru menghilang. Sarang yang
beberapa hari lalu ramai dan padat oleh pasukan ulat bulu kini hanya tinggal
bulu-bulunya saja. Aku khawatir kalau ini adalah sebuah jebakan, lalu aku
mengkomandokan 27 pasukanku untuk menyisir seluruh seluk beluk sarang tersebut.
1 jam kemudian salah satu dari pasukanku menemukan serbuk lembut berwarna putih
disalah satu bangsal yang ditinggali pasukan ulat bulu. Dan memang benar,
serbuk itu berwarna putih, aku belum pernah melihat benda seperti itu
sebelumnya. Membuat kami semakin bingung, apa yang sebenarnya telah terjadi.
Setelah ditelusuri, ceceran serbuk putih itu mengarah ke suatu tempat yang
kemudian kami ikuti kemana arahnya, aku yakin ceceran serbuk ini menuju ke
tempat persembunyian ulat bulu. Sambil berhati-hati, kami terus menelusuri.
Setelah berjalan beberapa meter melewati
ranting-ranting, kami dikejutkan oleh sosok gumpalan-gumpalan putih yang
bergerak-gerak dan menggantung di bawah dedaunan pohon mangga yang jumlahnya
hampir ratusan. Melihat kejadian itu, kami berlarian pontang-panting karena
ketakutan. Kami takut pada sesuatu yang sama sekali belum pernah kami lihat
sebelumnya, apalagi dengan bentuk yang aneh seperti itu.
Setengah jam kemudian kami berkumpul kembali, membicarakan
rencana apa yang harus kami lakukan. Semangat yang tadinya menggelora, seketika
melebur bersamaan dengan teriknya panas matahari. Sembari berkumpul, aku
mengatakan pada seluruh pasukanku untuk tetap tenang dan selalu waspada. Aku
meyakinkan pasukanku bahwa sebenarnya gumpalan-gumpalan putih itu berisi
ulat-ulat bulu yang sedang tidur panjang dimusim kemarau. Sesungguhnya akupun juga
tidak tahu menahu apa yang ada di dalam gumpalan-gumpalan putih tersebut, aku
hanya ingin pasukanku untuk tetap tenang dan terkendali sehingga tidak terpecah
belah. Kemudian ide cemerlang muncul dari perutku, untuk melakukan penyerangan
3 hari kemudian.
“Wahai
kawan-kawanku... Ayo kita serang gumpalan putih itu! Buat tidur panjang mereka
menjadi tidur selamanya..!!!” Teriaku pada pasukanku dihari H. Kami
berjalan berurutan melewati ranting-ranting pohon, mendekati gumpalan putih
tersebut. Sialnya, seluruh gumpalan putih tersebut bergerak dan berayun-ayun,
sehingga membuat pasukanku menempel dikulit gumpalan putih tersebut. Entah
terbuat dari apa gumpalan putih tersebut hingga membuat tubuh kami tidak
berkutik karena saking lengketnya. Lagi-lagi kami dibuatnya bingung tak
berdaya. Setelah beberapa menit kemudian, gumpalan putih tersebut telah
tertempel tubuh pasukan semutku. Yang membuat kami lebih panik lagi adalah
kulit gumpalan putih tersebut mengelupas dan keluarlah sosok binatang yang
bersayap warna-warni. Para manusia menyebutnya sebagai Kupu-kupu. Beberapa saat
kemudian seluruh gumpalan putih tersebut telah terkelupas dan ratusan kupu-kupu
mulai beterbangan disekitar kami. Mereka memperhatikan kami yang sedang
keheranan, lalu mereka terbang menjauh, meninggalkan pohon mangga kami dengan
tanpa pesan sedikitpun.
Sejenak aku berfikir, apakah perang ini sudah berakhir?
Jika iya, maka kami akan sangat-sangat bersyukur. Ternyata memang benar, perang
ini telah berakhir, tak peduli tentang berubahnya Bangsa ulat menjadi Bangsa
kupu-kupu yang kemudian terbang menghilang tanpa pesan, intinya kini Bangsa
semut telah kembali tentram seperti dahulu. Kami pun kembali ke sarang kami
dengan menyanyikan lagu kebangsaan kami “Jayalah
Semut”.
Malam
ini keadaan begitu riuh, bukan riuh oleh tangisan seperti hari-hari kemarin,
tetapi riuh karena nyanyian kegembiraan Bangsa semut yang sedang merayakan
pesta kemenangan. Aku pandangi mereka dari kejauhan, karena saat ini aku sedang
duduk menyendiri untuk tetap tenang. Terlebih lagi bulan sabit malam ini
seolah-olah tersenyum kepadaku, sayang jika dilewatkan. Menambah semangatku juga
dalam menuliskan perjalanan hidupku pada sebuah buku mungil ini. Sembari menulis, dan memandang bulan, aku
teguk sedikit demi sedikit sebotol minuman rasa jeruk ini, minuman yang aku curi
dari dalam garasi rumah diseberang selatan pohon manggaku. Dengan pandangan
yang sedikit berkunang-kunang, aku melihat ada 12 bulan sabit di langit dan
ribuan bintang kecil yang tiba-tiba berjatuhan menancap di dadaku. Menggetarkan
seluruh tubuhku dari antena hingga ujung kaki. Rasanya dingin tetapi sangat menyakitkan.
Oh.. sial.. aku mencoba membaca tulisan yang ada di botol minumanku, “Racun Serangga rasa jeruk”, Oh.. Ibu.. maafkan aku, kebiasaanku mencuri makanan
tak bisa hilang, bahkan ketika aku sedang bersyukur kepadamu dan kepada-Nya.
***
Jogja, Juni 2015
Jogja, Juni 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar