Sebuah cerpen lanjutan dari cerita sebelumnya:
Sebuah Pagi yang Lembab dan April yang Cantik.
Catatan April
kepada Agustas:
“Haruskah ku katakan bahwa sesungguhnya aku
juga mencintaimu, Gus? Kurasa tak perlu lagi kukatakan, percuma. Pastinya, kau
pun sudah tahu jawabannya, Gus. Jawaban yang sekiranya mungkin membuatmu
bahagia. Namun setelah itu kenyataannya, kita dibuat bersedih oleh perpisahan
yang tiba-tiba datang tanpa permisi. Sebuah pagi yang lembab, pepohonan anggur
yang rimbun, kicauan burung yang bersahutan, cahaya matahari yang menembus
dedaunan dan tentunya dirimu yang kucintai. Yang kini juga aku rindui. Semuanya
lenyap dalam sekejapan mata”.
Pagi itu, kita
sama sama merasakan betapa surga telah berada di sekitaran kita, di kebun
anggur yang rimbun. Ketika itu sentuhanmu telah sampai pada puncak titik
kesempurnaanku. Dan ketika itu juga sentuhanku pun telah sampai pada puncak
titik pencapaianmu. Semua menyatu dalam balutan sejuta rasa. Namun, pada
pencapaian kita yang terakhir, dalam sekejap mata, akhirnya kita semua
menghilang, hilang bersama dunianya masing-masing. Yang kuketahui, sesungguhnya
hanya kau lah yang menghilang. Aku tetap disini di duniaku, terdampar di dalam sebuah
pagi yang selalu lembab.
Agustasku yang
tercinta, aku masih disini, ya masih disini. Di dalam sebuah pagi yang entah
kenapa selalu lembab. Apakah kau mengerti, Gus? Kurasa tidak. Namun, tak apa
lah jika kau tak mengerti dan tak mengetahui. Nanti kau akan tahu sendiri, Gus.
Aku teringat kembali
ceritamu dahulu tentang penyakit jiwa yang kau derita sejak kecil. Kau
bercerita, penyakit itu bernama Skizofrenia.
Kau mengucapkan nama tersebut dengan sedikit gagu. Sepanjang yang kuketahui, penyakit
tersebut menimbulkan gejala halusinasi dan paranoid bagi penderitanya. Ketika
itu aku mulai sadar dan mengerti, Gus. Sesungguhnya bukan aku yang gila, tapi
kau. Itu lah sebabnya terkadang aku tersinggung ketika kau ejek aku dengan
sebutan “Wanita Gila”. Marahku itu
mewakili perasaanku yang sesungguhnya ingin menginterupsi bahwa kau lah yang
gila. Namun, aku juga tak boleh semena-mena mangatakan kau gila, sesungguhnya kau
hanya sakit.
Tentang sakitmu
yang entah darimana asalnya, pastinya pikiranmu telah dijejali gangguan
halusinasi yang kemudian membuatku benar-benar mengerti, aku dan duniaku
hanyalah halusinasimu, hanyalah buah pikiranmu. Lantas, apakah semua yang
kuketahui itu membuatku sedih dan kecewa? Awalnnya iya, aku sedikit sedih. Betapa
tidak, diriku yang kulihat di cermin begitu cantik, lengkap dengan aksesorisnya
sebagai wanita remaja, bahkan lengkap pula dengan suasana sebuah pagi yang
lembab, ternyata semua hanyalah semu belaka. Namun, seiring berjalannya waktu Gus,
aku mulai terbiasa, aku mulai nyaman ketika bersamamu. Sosokmu begitu nyata,
begitu pula diriku bagi dirimu. Tak ada satu orang pun yang ku kenal selain
dirimu. Hari-hari bersamamu membuatku benar-benar lupa akan kesemuan diriku. Sudah
kuanggap bahwa ini lah aku yang sesungguhnya, yang memiliki tubuh berbentuk
wanita beserta segala pikiranku, sepengetahuanku.
Agustasku yang tersayang,
kau adalah penciptaku, beserta sebuah pagi yang lembab sebagai latar
panggungnya, membuatku menjadi hidup untuk ikut berperan serta di dalamnya
sebagai aktrisnya, sedangkan kau merangkap sebagai aktor dan sekaligus
sutradaranya. Sungguh begitu indah buah imajinasimu itu Gus, segala puji kutumpahkan
kepadamu. Harus kah kusebut kau sebagai Tuhanku? Kurasa tidak perlu, cukup
dalam pikiran saja.
Ingin aku
bertanya padamu, apakah jauh sebelum aku diciptakan, saat itu kau sedang
memikirkan seorang wanita? Apakah ketika itu kau sedang merasa kesepian dan
membutuhkan sosok perempuan? Sehingga halusinasi yang muncul dalam pikiranmu
adalah sosokku? Kali ini aku tak dapat menebak pikiranmu, Gus. Terlebih lagi
kau adalah penciptaku, takkan mampu aku membaca pikiranmu.
Seiring dengan
hilangnya dirimu kini, apakah halusinasimu tentang aku dan duniaku ini juga
berakhir? Aku yakin pasti iya.
Kebersamaan kita
di kebun anggur itu menjadi saksi perpisahan kita. Aku meyakini kemungkinan “Puncak Kenikmatan” kita bersama ketika
itu menjadi penyebab hilangnya halusinasimu, sehingga musnah lah pula aku dari
pikiranmu. Kalau memang itu penyebabnya, aku tak harus merasa bersalah padamu kan
Gus? Itu artinya, kau mulai sembuh dari sakitmu, walaupun kesembuhanmu begitu
menyakitkan untukku, setidaknya kau mulai bisa hidup dengan segala kenyataanmu.
Terpaksa aku harus bahagia.
Sebuah pagi yang
lembab yang kau ciptakan ini, kini telah menjadi sebuah pagi yang basah,
gerimis mengguyuriku tanpa henti. Apakah kini kau sedang bersedih Gus? Atau
sedang menangis? Sehingga langitku menjadi gerimis tiada henti? Aku mohon
padamu Gus, hentikan kedehihanmu, aku kedinginan disini. Bergembira lah karena
pulihnya jiwamu, aku ingin tersentuh hangatnya mentari di ufuk timur.
Agustasku yang
sungguh-sungguh kurindui. Kelak jika suatu hari kau memikirkanku lagi, aku akan
datang padamu.
***
Aprillia, 4 Agustus 1990
Jogjakarta, 4 Agustus 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar