Sebuah cerpen fiksi
Banyak orang
berkata “Jatuh Cinta itu Berjuta juta Indahnya”, tapi tidak denganku, bagiku
jatuh cinta bermilyar milyar indahnya, aku bisa merasakannya, meskipun tidak
pernah aku hitung hingga bermilyar jumlahnya karena ketika itu hitunganku
terhenti diangka 14. Selanjutnya, waktu lah yang telah membuat hitungannya
menjadi bermilyar milyar keindahan.
Pagi ini, bulan
Januari tahun 1990 yang begitu lembab dan sejuk, aku menulis sambil
mendengarkan kicauan sepasang burung merpati di dalam sangkar kayu yang di
letakan tepat di atasku, di teras sebuah rumah besar peninggalan Belanda yang
aku tinggali selama lebih dari 35 tahun bersama 5 temanku tercinta. Sementara, sudah
kuhabiskan dua batang rokok kretekku dan secangkir kopi hitam dengan sedikit
gula, cukup sederhana untuk menciptakan pagiku yang manis.
Sebagai
seorang laki-laki tua yang entah sudah berapa tahun umurku, tidak banyak lagi
aktifitas berat yang bisa aku lakukan. Aku tidak lagi muda. Bahkan tulang-tulangku
kini sudah tak mampu lagi menopang beratnya sebuah tas carrier yang dulu sering
aku pakai untuk mendaki gunung, kulitku yang kriput ini pun sudah tak mampu
lagi berpapasan dengan teriknya matahari dan dinginnya puncak. Terlebih lagi
aku sedang sakit yang entah sakit apa dan entah kapan akan sembuh.
Pagi ini
adalah akhir pekan, aku sengaja tidak mandi dan tidak sarapan indomie
kesukaanku. Karena dari dulu aku pun selalu begitu diakhir pekan. Seperti
biasa, dari kejauhan, terlihat Nn. Martawi yang sudah aku tunggu-tunggu sedang
memasuki pintu gerbang menuntun sebuah sepeda ontel tua dengan keranjang besi
di belakangnya, membawa sekitar 6 bungkusan bubur ayam untuk kami. Yesss....!
Nn. Martawi
adalah salah seorang perawat disebuah Rumah Sakit Jiwa Darkem, ya.. disini, tempat
dimana aku dan 5 temanku tinggal selama 35 tahun lebih. Wajahnya yang manis, berambut
hitam panjang, berbibir merah dan bertubuh montok, menyamarkan fakta bahwa
sesungguhnya Nn. Martawi telah berumur 35 tahun. Ia tidak memiliki anak apalagi
suami, ia habiskan seluruh hidupnya untuk mengabdi di Rumah Sakit Jiwa Darkem
ini. Dia merupakan perawat yang rajin dan ulet, terbukti dengan segala keindahan
dan kerapihan yang ada di Rumah Sakit ini, bahkan ia rela membersihkan kamar
tidurku yang basah karena tidak sengaja aku kencingi ketika aku tidur.
Terkadang aku malu dengannya, entah kenapa aku tidak bisa mengontrol keluarnya
air kencing disaat aku tidur. Sehingga aku kerap memberikannya hadiah sebagai
tanda terima kasihku kepadanya, hadiah yang aku buat sendiri, Sebuah lukisan
pemandangan dua buah gunung kembar disebelah kanan dan kiri, dengan jalan
berbelok yang dibuat mengecil ketika mendekati gunung, dengan sawah yang
menguning, langit yang biru, 1 buah matahari kuning yang bundar dan seorang
wanita di langit. Nn. Martawi bertanya “
Siapa wanita yang ada di langit itu Gaga?”, “Entahlah, mungkin malaikat” Jawabku
sambil sedikit menaikan bahu. Nn. Martawi tersenyum sambil menganggukan kepala.
Dalam hati, sebenarnya aku menjawab “Itu
kamu”. Hahaa... Aku kira cukup sudah bercerita tentang Nn. Martawi, aku
hanya tak ingin kalian mengenal lebih jauh tentangnya, karena bisa membuatku
cemburu.
Waktu sudah
menunjukan jam setengah sepuluh, sebungkus bubur ayam sudah aku habiskan, 2
batang rokok kretek pun sudah aku hisap pula. Kini aku harus meminum obatku yang
jumlahnya satu lusin, salah satu obatnya bernama Benzodiazepin. Lalu aku bergegas
menuju Aula Rumah Sakit bersama ke 5 temanku, dengan pakaian yang sedikit rapi.
Tepat jam 11
siang, aku dan 5 temanku mulai memasuki Aula dengan berjalan berjejeran layaknya
aktor film. Sebelum memasuki ruangan Aula yang pintunya bertuliskan “No
Smoking”, aku sempatkan mematikan rokoku di lidah lalu kusentilkan kearah atas
menggunakan jari tengahku. Seperti biasa, kami diberi tepuk tangan yang meriah
oleh 12 orang petinggi pengurus Rumah Sakit ini, termasuk juga Nn. Martawi yang
senyumnya bisa aku lihat ketika aku mandi. Seperti yang sudah-sudah, selain berdiskusi tentang perkembangan kesehatan
kami, tujuan kami berkumpul di Aula juga karena para pengurus Rumah Sakit ingin
membahas rencana acara seminar psikologi kejiwaan yang akan diselenggarakan
oleh sebuah Universitas terkemuka yang ada di kota ini, besok senin pagi. Kami
ber 6 diberi kehormatan untuk menjadi narasumber diacara seminar tersebut,
walau tidak ada satu pun peserta yang hormat kepada kami, kami cukup senang.
Malam ini
hujan dan salju turun dengan bersamaan, butiran salju yang menempel di dedaunan
hanya mampu bertahan 4 detik saja karena langsung dilelehkan oleh tetesan air
hujan. Seperti biasa, aku duduk berselonjor di kursi bambu panjang di teras
Rumah Sakitku, sambil menulis dan menikmati kacang rebus buatan Nn. Martawi.
Kali ini tidak seperti biasanya, aku tidak melihat ke 5 temanku di teras, di
dalam, di luar dan dimana-mana. “Mba.. kemana
perginya ke 5 teman tercintaku. Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa?” Tanyaku
kepada Nn. Delilah, salah seorang perawat yang kebetulan lewat dibelakangku. Ia
tersenyum dan menjawab “Mereka
disumbangkan oleh bapak direktur ke Museum Wayang Kulit milik pemerintah daerah
tadi sore”. “Lho.. kenapa mereka disumbangkan?
Aku khawatir mereka tidak bahagia disana”. Tanyaku yang merasa keheranan.
Kuhisap lagi rokoku untuk mengurangi kegelisahan kemudian aku bertanya lagi, namun
tiba-tiba Nn. Delilah sudah pergi. Aku bergegas berdiri melihat suasana
disekitarku, aku masih benar-benar tidak menyangka, mereka meninggalkanku
begitu saja setelah bertahun-tahun kami hidup bersama, bermain bersama,
bersendau gurau bersama, bercakap-cakap bersama. Aaah... aku tidak suka suasana
seperti ini, perasaanku tidak karuan, aku merasa linglung, jantungku berdebar
kencang, kepalaku seakan berputar-putar. Aku berlari ke tengah lapangan di depan
teras, kurebahkan tubuh rentaku bersama guyuran air hujan dan salju, seekor
burung gagak hitam beterbangan di atasku dengan suaranya yang khas. Dari pintu
Rumah Sakit, terdengar Nn. Martawi memanggilku “Gaga, masuk lah.. aku tak ingin kamu demam”. “Yaaa... aku masuk”. Aku
berdiri dan kemudian berjalan masuk.
Di dalam
rumah, Nn. Martawi memberiku handuk dan pakaian kering sambil menanyaiku “Sebenarnya apa yang telah terjadi Gaga?”. Lalu
aku ceritakan semuanya tentang kepergian 5 temanku itu. Nn. Martawi memelukku
untuk membuatku tenang, bukannya tenang, aku malah menjadi tegang.
Ini adalah senin
pagi yang cerah, Aku tidak bisa lagi mendengar celotehan para sahabatku. Aku lekas
bergegas mandi menggunakan air kelapa yang baru saja aku petik dari pohon di
depan Rumah Sakit. Rok merah dan jas hitam juga telah aku siapkan di atas meja
kamarku untuk aku kenakan di acara seminar tersebut. Setelah semua
perlengkapanku telah siap, Nn. Martawi menawarkan diri untuk mengantarku, aku
meng-iyakan tawarannya. Karena lokasinya cukup jauh dan Rumah Sakit hanya
memiliki satu mobil, maka kami berdua berangkat menggunakan mobil ambulan. Kami
siap berangkat dengan Nn. Martawi sebagai sopirnya. Ditengah perjalanan
terkadang aku terpaksa menyalakan sirene agar tidak terjebak kemacetan ketika
melewati perempatan atau pertigaan. Setelah satu jam perjalanan, akhirnya kami
sampai disebuah gapura besar yang dipasangi spanduk bertuliskan “Selamat datang para peserta Seminar Psikologi
Kejiwaan”.
Kedatangan
kami rupanya disambut dengan hangat oleh panitia. Sambil tertawa cekikikan,
para panitia memandu kami menuju ruang Seminar yang gedungnya besar. Aku
memgang erat tangan Nn. Martawi untuk menghilangkan rasa gerogiku. Setelah
moderator selesai berbicara, panitia mempersilahkan aku duduk ditempat duduk
tepat ditengah backround panggung, sedangkan Nn. Martawi duduk di kursi VVIP. Langkah
kakiku diiringi oleh tepukan tangan dan tawaan yang sangat riuh oleh para
peserta. Kemudian aku duduk sambil memandang cahaya matahari yang menembus
salah satu kaca jendela gedung. Sebelum berdiri dan berbicara, aku menyempatkan untuk
menyalakan rokokku agar lebih percaya diri, walaupun aku dianggap gila tetapi
aku tetap butuh yang namanya rasa percaya diri. Pembicaraanku pun dimulai
dengan tanya jawab.
Peserta 7: Pak,
kenapa anda memakai jas hitam dan rok merah?
Aku: Karena jas
yang coklat dan rok yang hitam sedang dicuci.
Peserta 22: Jika anda
masih ingat, tolong jelaskan apa yang terjadi dengan kaki kanan anda, mengapa
menggunakan kaki palsu?
Aku: Pertanyaan
bagus nak... aku tak pernah lupa. Kaki kananku patah sudah sejak aku duduk di
bangku SMP, ketika itu aku sengaja mematahkannya menggunakan balok kayu yang
kupukulkan berkali-kali, sekedar untuk membuktikan kepada kekasihku bahwa putus
cinta dengannya lebih menyakitkan dibanding patahnya kakiku.
Para Peserta:
Huuuuuuuuu....
Peserta 34: Kalau
boleh tau, Kenapa anda begitu mencintai kekasih anda ketika itu?
Aku: Sebagai
remaja laki-laki, aku sangat menyukai aktifitas seks. Hanya dengan dia, aku
bisa merasakan sensasi seks yang sehebat-hebatnya, bagaikan Bianglala.
Peserta 35: Sensasi seks
hebat macam apa yang anda rasakan ketika bersamanya?
Aku: Hmm... Bagiku
dia itu unik. Wajah, suara, rambut, postur badan, warna kulit, pikiran, sifat, umur,
payudara dan bahkan maaf, vaginanya pun bisa berubah ubah sesuai dengan yang
aku inginkan. Hahaha...
Para Peserta:
Huuuuuuuuuu.....
Sejenak
suasana gedung menjadi riuh oleh tepukan tangan para peserta. Aku sempatkan
meminum teh hangat yang disiapkan panitia untuk menyegarkan tenggorokanku.
Peserta 4: Saya
penasaran, masa iya sih ada perempuan seperti dia. Tolong ceritakan awal anda
bertemu dengannya!
Aku: Pada suatu
siang, di Sekolah SMPku. Aku mengikuti pelajaran bhs. Indonesia di perpustakaan
bersama 35 siswa yang lain. Ketika itu, Ibu guru menjelaskan panjang lebar
tentang penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, sedangkan aku lebih
memilih untuk melamun hingga ketiduran.
Peserta 4: Lalu???
Aku: Tidak ada
satu pun teman-temanku yang membangunkanku, keterlaluan sekali mereka, teman
macam apa itu! Sialnya, aku terbangun setelah maghrib. Beberapa saat setelah
aku menyalakan sakelar lampu, baru lah sosok cantiknya muncul dari balik lemari
buku. Aku mendekati untuk mencoba berkenalan.
Peserta 3: Siapa namanya Pak?
Aku: Dengan
nada yang lirih, dia berkata “Ima”. Sejak saat itu, hubungan kami semakin hari
semakin dekat layaknya orang dewasa yang bersuami istri. Dia selalu mengajaku
berkelana keliling Dunia, sekedar untuk mencari sensasi berhubungan seks yang
ekstrim.
Peserta 105: Bagaimana caranya kalian keliling
Dunia diusia yang semuda itu?
Aku: Mudah saja
bagi Ima, aku hanya disuruhnya memilih salah satu tempat yang ada di buku Atlas
kemudian aku tidur sambil memeluknya. Setelah itu, aku terbangun dan telah
berada ditempat yang aku inginkan. Misalnya ketika aku menginginkan sebuah
pegunungan Es Alven, maka kami sampai disana. Ketika itu kami tinggal disebuah
kabin kayu berukuran 5 kali 5 meter, diantara pohon-pohon cemara yang dihujani
oleh salju, dengan pegunungan es sebagai backgroundnya. Seperti biasa, dicuaca
yang dingin seperti itu, hal yang paling menyenangkan adalah bercinta, telah
tersedia pula coklat cair hangat yang bisa kami pakai untuk berendam bersama.
Hmmm... aku masih ingat betul manisnya coklat tersebut yang aku jilati di
lehernya.
Para Peserta:
Huuuuuuuuuuuuuuuuu....
Nn. Martawi: Hayoo pak
Gaga... jaga ucapan...
Aku: Oke
Nona...
Peserta 58: Hahahaha...
mendengar cerita anda, sungguh membuatku iri Pak Gaga. Menurut anda, perjalanan
kemana kah yang paling berkesan?
Aku: Perjalanan
paling berkesan, Gunung Walu, Di gunung itu lah kami terpisah hingga detik ini.
Peserta 29: Tolong
ceritaan kronologi terpisahnya anda dengan sosok Ima!
Aku: Pada suatu
sore, kami berjalan menyusuri hutan yang kering. Semangatku membara walaupun
berjalan dengan terseok-seok karena kaki palsuku yang sering kendor bautnya dan
tas carrier yang berat. Sesekali si Ima menyemangatiku “Gaga.. Gaga.. Gaga..!” Setelah berjalan selama 2 jam, tepat ketika
mentari mulai menghilang dan langit mulai menghitam, kami sampai di dua pohon
beringin besar sebelum mencapai puncak. Kami berjalan di antara dua beringin tersebut,
itu lah awal mula terpisahnya aku dengan Ima. Setelah beberapa detik aku
melewati dua pohon beringin tersebut, tiba-tiba aku telah berada disebuah hutan
besar yang ditumbuhi aneka macam pepohonan yang ukurannya besar-besar dan
dipenuhi dengan semak belukar. Aku berteriak memanggil Ima, tapi tidak ada
jawaban. Aku pun berlari kesana kemari mencari Ima, tapi tetap saja tidak
kutemukan. Jangankan menemukan Ima, petani yang lewat pun tidak ada.
Pencarianku tersebut berlangsung hingga 5 tahun, aku terjebak di dalam hutan yang
sangat besar.
Para Peserta: Huuuuuuuuuuuuu.....
Tidak terasa
waktu menunjukan jam 12 siang, acara seminar diistirahatkan sejenak hingga jam
1. Aku dan Nn. Martawi dipersilahkan makan siang dengan nasi kotak lezat yang
diberikan oleh panitia. Kami makan di bawah sebuah pohon ketapang yang rindang
di samping gedung, nikmat sekali. Sesekali Nn. Martawi menyindir tentang Ima,
aku hanya bisa tertawa. Akhirnya waktu istirahat pun telah habis, seminar
kembali dilanjutkan.
Aku: Ya.. Singkat
cerita, aku tidak pernah menemukan Ima lagi hingga detik ini.
Peserta 17: Lalu apa
yang anda temukan?
Aku: Nah...
Pertanyaan yang bagus nak. Setelah aku menemukan sungai dan mencoba
menyusurinya selama 7 bulan, aku menemukan sebuah Rumah Besar peninggalan Bangsa
Belanda. Di atas pintu gerbangnya bertuliskan “Rumah Sakit Jiwa Darkem”.
Kemudian aku masuk, aku melihat 5 orang yang sedang bermain bola di udara. Perasaanku
lega sekali karena untuk pertama kalinya dalam 5 tahun akhirnya aku menemukan
orang yang bisa kuajak bicara. Mereka menyambutku dengan ramah, kami pun
berkenalan, mereka memiliki nama Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa.
Sejak saat itu lah mereka menyuruhku untuk tinggal saja di Rumah Sakit tersebut.
Aku diperkenalkan kepada para pengurus Rumah Sakit untuk mendapatkan ijin
tinggal. Akhirnya, aku tinggal menetap disana hingga sekarang ini yang telah
berjalan selama lebih dari 35 tahun. Aku senang sekali tinggal disana bersama
orang-orang yang mau menerimaku apa adanya, walaupun terkadang juga sedih ketika
tiba-tiba teringat kembali tentang Ima yang entah kemana perginya. Nah..
begitulah sedikit ringkasan tentang hidupku. Mohon maaf apabila ada kata-kataku
yang tidak berkenan di hati kalian semua.
Tepuk tangan
para peserta menggema di dalam gedung Seminar tersebut, mengiringi aku yang
berjalan menuju kursi VVIP untuk kembali kepada Nn. Martawi.
Moderator: Yaa...
barusan kita telah mendengarkan sebuah cerita hebat pengalaman hidup dari
seorang imajiner yang menderita kelainan jiwa sejak kecil. Pelajaran yang bisa
kita ambil darinya adalah tentang betapa luasnya Imajinasi, imajinasi dapat
menciptakan Dunianya sendiri, Dunia yang hanya bisa dirasakan oleh tiap-tiap
individu yang mengalaminya. Berimajinasi lah sesuai kemampuan kalian
masing-masing, tapi ada satu hal yang harus digaris bawahi. Imajinasi itu ada
batasannya, kalian harus bisa membedakan mana imajinasi yang positif dan mana
imajinasi yang negatif. Selain itu, kalian juga harus bisa membedakan mana yang
sebenarnya Imajinasi dan mana yang kenyataan. Itu lah yang membedakan antara manusia
yang sehat dan yang sakit jiwanya.
Setelah
acara seminar ditutup oleh moderator, kami meninggalkan ruangan sambil
bersalaman dengan para pengurus acara dan tamu-tamu yang lain. Sebelum aku
masuk ke mobil, seorang peserta yang cantik memberiku sebuah bingkisan kecil sebagai
ucapan terimakasih, katanya. Lalu aku masukan ke dalam kantong jasku. Kemudian
kami pulang, kali ini aku yang menyetir.
Waktu
menunjukan jam 4 sore, ditengah perjalanan Nn. Martawi terlihat sedikit murung
dengan memalingkan wajah ke kaca sebelah kiri, lagi lagi ia menyinggungku
tentang Ima.
Nn. Martawi: Apakah
kamu masih mencintai Ima?
Aku: Mmm.......
Nn. Martawi: Jawab!
Aku: Iya, aku
masih mencintainya!
Nn. Martawi: Owh.. aku
ingat ceritamu yang tadi bahwa Ima bisa menjelma menjadi sosok yang
berbeda-beda.
Aku: Iya.. itu
benar.
Nn. Martawi: Bagaimana
jika aku adalah Ima?
Aku: Hahaha... Tak
mungkin... jangan bercanda ah...
Nn. Martawi: Aku tanya,
Bagaimana jika aku adalah Ima?
Aku: Hmmm....
Aku ingin keliling Dunia bersama.
Nn. Martawi: Dunia
macam apa yang kamu inginkan Drimiku?
Aku kaget
bukan kepayang mendengar kata “Drimiku”
keluar dari mulutnya. Seketika tubuhku menjadi kaku, lalu aku mencoba menoleh
kearahnya. Dan ternyata memang benar, yang aku lihat sudah bukan lagi Nn.
Martawi, melainkan sosok yang tidak aku kenal. Laju mobil semakin tak
terkendali. Ia bertanya lagi.
No Name: Dunia
macam apa yang kamu inginkan Drimiku?
Aku: Dunia Nyataaa!!!
No Name:
Keinginanmu akan segera terkabulkan Drimiku.
Dan mobil
ambulanku terperosok ke dalam jurang sedalam 17 meter lalu kemudian masuk ke
dalam danau. Aku sempatkan membuka bingkisan kecil yang tadi aku masukan
kantong, astaga... ternyata berisi sebuah foto usang yang menggambarkan masa
kecilku di SMP, sedang tergantung kaku di ventilasi pintu perpustakaan sambil
memegang buku Atlas. Dalam hati aku berkata “Siapa
kah perempuan cantik yang memberikan bingkisan kepadaku?”.
Jogjakarta,
28 April 2015