Sebuah Cerpen Fiksi
Di sebuah
bangunan poskamling yang bercahaya kuning di bawah naungan langit yang gelap,
aku menyendiri dari keramaian, bukan karena aku tak suka keramaian, lebih
karena keramaian yang tak menyukaiku. Ya, aku mengerti. Begini saja sudah lebih
baik, aku nikmati setiap detik waktuku hanya bersama kesunyian.
Aku pernah
dengar cerita tentang sifat dasar manusia, manusia ditakdirkan sebagai makhluk
sosialis, entah apa sosialis itu, mungkin maksudnya adalah makhluk yang saling membutuhkan
antara satu individu terhadap individu lainnya. Namun, meskipun sama-sama terlahir
sebagai seorang manusia, mengapa aku dijauhkan dari aktifitas sosialis? Mengapa
mereka tak pernah mau menerimaku? Apa yang salah dariku? Begitulah segelintir
kegelisahanku, yang sengaja aku tulis ungkapan kegelisahan batinku tersebut pada
sebuah buku yang aku buat sendiri dari limbah kertas.
Malam begitu
dingin, angin menyentuh tubuh kumalku yang bertelanjang dada, untung lah
radiasi lampu 5 watt memberiku sedikit kehangatan. Di sisi lain, puluhan nyamuk
beterbangan mengelilingi rambut gimbalku seakan ingin mencari tempat sembunyi, sesekali
terdengar suara ayam jantan berkokok, aku menduga ini tidak lagi malam, tetapi
telah berlanjut menuju dini hari. Pantas, Poskamling hanya menyisakan sebuah
tikar usang dengan taburan sampah kulit kacang di atasnya.
Di dalam
keheningan, tiba-tiba kurasakan gerakan kecil kulit-kulit kacang mendekat
kearahku, entah kau percaya atau tidak, itulah yang aku lihat dengan mata
kepalaku. Satu persatu kulit kacang bergerak dan berkumpul membentuk barisan
menghadap ke arahku, bahkan sebagaian dari mereka berloncatan bergantian dengan
suaranya yang lucu “cuw..cuw..cuw..”. Ku katakan lagi, entah kau percaya atau
tidak, itulah yang aku dengar dari telingaku. Beberapa menit kemudian
kulit-kulit kacang tersebut telah berkumpul rapih tepat di depanku. Kupandangi
mereka dengan seksama, tak ada yang berbeda, semua sama, hanya kulit kacang.
Salah satu kulit kacang yang berada di barisan paling depan tiba-tiba bersuara
lalu berkata padaku “Aku punya suatu cerita untukmu”. Dalam hati, sesungguhnya
aku ingin tertawa, mendengar kulit kacang memiliki sebuah cerita. Aku mulai
penasaran, dan dialog dini hari pun terjadi.
Aku : Sebelum
kau menyampaikan cerita, tolong perkenalkan dulu dirimu beserta teman-temanmu.
Kulit Kacang
1 : Mengapa
aku harus memperkenalkan diriku dan teman-temanku?
Aku : Hmm... Agar
aku bisa menyayangimu.
Kulit Kacang
1 : Apa hubungannya?
Jangan bodoh kau.
Aku : Aku
ingat, Pepatah pernah berkata “Tak kenal maka tak sayang”.
Kulit Kacang
1 : Pepatah?
Siapa pula Pepatah itu? Manusia kah?
Aku : Ah..
pertanyaan macam apa itu, baru kali ini kudengar.. sial..
Kulit Kacang
3 : Lalu, menurutmu
siapa Pepatah itu?
Memang
benar, dalam benakku, sesungguhnya aku pun tak pernah tau siapa dan apa itu
Pepatah. Pertanyaan Kulit Kacang tersebut membuatku bertanya tanya pula. Disisi
lain aku juga tak ingin terlihat bodoh dan kikuk di depan mereka. Maka segera aku
menjawab.
Aku : Pepatah
adalah golongan manusia-manusia yang bijaksana. Kalimat-kalimat bijak yang
mereka buat merupakan sebuah pesan yang memiliki arti mendalam. Kira-kira
begitu.
Kulit Kacang
3 : Benar
begitu?
Aku : Ah..
salah pun tak apa, kebenaran hanya lah masalah kesepakatan. Jika kita sama-sama
sepakat bahwa pendapatku benar, maka jadilah benar.
Kulit Kacang
1 & 3
: Ya.. tentu kami sepakat, bahwa pendapatmu benar.
Aku : Kalau
begitu, lekas perkenalkan siapa kalian?
Suara
jangkrik menyebar dari segala penjuru, padahal sepanjang yang kuketahui tak ada
pohon ataupun semak di sekitarku. Poskamling ini terhimpit oleh bangunan rumah
di samping kanan, kiri dan belakang yang begitu padat. Jalan aspal di depan
poskamling ini pun hanya cukup untuk dilewati 1 buah mobil.
Kulit Kacang
1 : Perkenalkan,
kami adalah Kulit Kacang yang sedang merindu.
Aku : Wahai
Kulit Kacang yang sedang merindu, cerita apa yang ingin kau sampaikan?
Kulit Kacang 1 : Ini tentang saudara kami, saudara yang sejak lahir kami lindungi dan kami jaga dengan segenap kekuatan. Bahkan hingga mereka tumbuh menjadi dewasa dan matang. Dan entah mengapa, di puncak kedewasaan mereka, selalu saja mereka meninggalkan kami tanpa ucap satu kata pun. Bahkan, tersenyum pada kami pun tidak. Pada saat itu pula, kami mulai mengerti, saudara kami terlahir sebagai sosok yang tak pernah berterima kasih. Kekecewaan kami berbuah kebencian.
Aku : Ya.. aku
mengerti kekecewaanmu, ditinggalkan tanpa pesan memang menyakitkan.
Kulit Kacang
1 : Ya.. kau
benar
Suara burung
gagak menggema di atas atap Pos Kamling, nyamuk-nyamuk pun masih bersemangat
terbang bebas berkeliling di bawah lampu yang hangat. Sejenak aku terdiam dalam
lamunan, mencari-cari kalimat untuk menanggapi pernyataan para Kulit Kacang
yang sedari tadi dirundung kegelisahan. Semakin lama aku mencari, semakin tak
kutemukan pula pikiranku tentang solusi permasalahan para Kulit Kacang tersebut.
Sementara itu, sebagian dari para Kulit Kacang wajahnya tampak mulai mengantuk
lalu menguap selebar-lebarnya.
Tidak lama
setelah itu, tiba-tiba terlihat gerakan-gerakan kecil dari arah pojok Pos Kamling,
yang kulihat adalah sebuah bungkus korek api kayu kecil yang bergerak-gerak.
Aku ambil lalu kemudian aku buka.
Alangkah
kagetnya aku ketika sebutir Kacang melompat dari dalam bungkus korek api, lalu
berdiri tegak diantara aku dan para Kulit Kacang. Sontak membuat para Kulit
Kacang kehilangan rasa kantuknya. Tampak wajah tegang diseluruh wajah mereka. Akhirnya
dialog pun terjadi.
Aku : Waw..
Sepertinya ada tamu tak diundang disini.
Kacang : Diam kau
lelaki bodoh! Gila! Ini bukan urusanmu!
Aku : Lalu apa
urusanmu?
Kacang : Aku..
Kulit Kacang
4 : Hey.. kau!
Saudara kurang ajar! Tak tahu berbalas budi!
Kulit Kacang
1 : Kami
sudah muak melihatmu, jangan harap kau bisa meminta perlindungan dari kami.
Pergi kau!
Kulit Kacang
13 : Kau
selalu pergi meninggalkan kami, tanpa satu pesan pun!
Kulit Kacang
1 : Pergi Kau!
Kacang sialan!
Dalam
ketegangan yang tak kuketahui perkaranya, sejenak aku merenung menembus pikiran
masa lampau, membuatku ingat beberapa petuah papatah, pepatah pernah berkata
“Kacang Lupa Kulitnya”. Mungkinkah kejadian ini yang menjadi dasar pemikiran
pepatah tersebut? Ah.. mungkin saja.
Aku : Kau!
“Kacang Lupa Kulitnya”
Kacang : Dengar!!!
Aku tak seperti yang kalian pikirkan!
Kulit Kacang
1 : Kau itu
“Kacang Lupa Kulitnya” Pergi kau!
Kacang : Dengar!!!
Sungguh aku tak pernah lupa pada kulitku.
Kulit Kacang
1 : Hmm..
Omong kosong!
Kacang : Dengar!!!
“Kacang tak pernah lupa Kulitnya”, Ingat itu. Manusia lah yang memisahkan kita,
lalu kemudian mereka merampas ragaku dari lindungan kalian. Jangan kalian pikir
aku seenaknya meninggalkan kalian tanpa pesan. Perlu kalian ketahui, aku bisa
berdiri disini dihadapan kalian bukan lah hal yang mudah. Aku satu-satunya
kacang yang berhasil lolos dari cengkeraman manusia.
Kulit Kacang
1 : Apa
maksudmu cengkeraman manusia?
Kacang : Wahai
saudaraku, sesungguhnya para Kacang menjadi santapan para manusia setelah merampasnya
dari kalian, saudaraku.
Kacang mulai
berjalan memasuki kerumunan para Kulit Kacang, kemudian mereka saling
berpelukan. Terdengar isak tangis memecah keheningan malam. Aku hanya terdiam
dalam kebingungan.
Kini
pandangan mereka ditujukan padaku dengan mata-mata yang menyipit dan tangan
yang mengepal. Aku mulai paham, sebentar lagi aku akan dibenci mereka, karena
aku manusia.
Suara burung
Gagak di atas atap Pos Kamling mengiringi langkahku untuk segera meninggalkan
mereka.
***