Hanya Cerpen Fiksi
Pagi yang
lembab bercampur butiran embun yang menempel di kaca jendela kamarku yang tak
bergorden. Hawa dinginnya mengalir masuk melalui 2 ventilasi di atas jendela
yang terbuat dari kayu, dinginnya menyebar cepat ke seluruh ruangan kamar yang
hanya berukuran 3 meter kali 3 meter. Membuatku makin malas beranjak dari kasur
dan selimutku. Aku gulingkan tubuhku ke samping kiri dan kutekuk kedua kakiku
agar dapat masuk ke dalam selimut seutuhnya, karena memang ukuran selimutku
yang tak sesuai dengan panjang tubuhku, selimutku terlalu kecil karena hanya
terbuat dari handuk bekas. Terdengar dari kejauhan, suara kokokan ayam jago yang
saling bersahut sahutan sebagai alarm alami penanda pagi telah tiba. Dari
posisi tidur tertutup handuk, aku intip sebentar pandanganku kearah jendela
yang berteralis besi itu, tak nampak sinar matahari menembus kaca. Mungkin
sedang mendung pikirku. Atau mungkin masih terlalu pagi. Lalu aku kembali masuk
ke dalam selimut handuk. Dengan mata sayup-sayup aku perhatikan arlojiku, waktu
menunjukkan tepat jam 5.
Tak lama
kemudian. Aku bergegas saja untuk bangun, aku ingat hari ini hari minggu, aku ada
janji lari pagi dengan April, sahabatku. Lekas aku berdiri menghadap cermin
yang kacanya telah retak-retak dan berjamur, sehingga tubuhku juga nampak
patah-patah. Dengan lebih mendekat ke cermin, aku bersihkan kotoran yang
menempel di pinggiran mataku. Lalu kuminum segelas air putih yang ada di atas
meja kayu dan aku semburkan airnya ke arah cermin, di cermin terlihat tubuhku
seolah-olah patah-patah dan meleleh. Aku tertawa sejenak, bukan karena sedang
lucu, melainkan sedang bersemangat.
Dengan
pakaian serba putih yang telah aku gosoki dengan kapur barus, aku mulai buka
pintu kamarku dengan perlahan, eh maksudku dengan tangan. Kemudian aku keluar. Lampu-lampu
lorong sudah dipadamkan, jadi sedikit gelap. Nampak seorang suster tua berjalan
di depanku sambil membawa keranjang sayur di tangan kiri dan kanannya,
sepertinya baru pulang dari belanja di pasar. “Selamat pagi mas Agus...” Sapa suster tua itu kepadaku. “Selamat pagi juga sus...” Jawabku
sambil tersenyum. “Tumben.. mas Agus
sudah bangun pagi-pagi begini?” Tanya suster tua itu. “Mau lari pagi sus, biar sehat jiwa raga.” Jawabku. Kemudian suster
tua tersebut kembali berjalan.
Di dalam
lorong yang sedikit gelap ini terdapat 20 kamar yang warna pintunya sama yaitu
abu-abu, bentuk pintunya juga sama yaitu persegi panjang, dan ukuran kamarnya
juga sama yaitu 3 kali 3 meter. 19 kamar diantaranya telah berpenghuni. Aku
sendiri menghuni kamar nomor 14. Kamar yang tak berpenghuni tepat berada disebelah
kiri kamarku, yaitu kamar nomor 13. Nah, April, sahabatku yang cantik berada di
sebelah kiri kamar kosong tersebut, kamar nomor 12. Kami bertetangga dekat,
hanya 6 langkah. Maka, ku segerakan melangkahkan kakiku 6 kali kearah kiri
menuju depan kamar April. Akhirnya aku sampai juga di depan pintu kamar April
dengan selamat. Di tengah pintunya terdapat tempelan angka 12 yang terbuat dari
bahan kertas stiker, di bawah stiker angka 12 terdapat tulisan kecil menggunakan
spidol hitam “Awas yang punya anjing
galak!”. Aku tau, itu adalah tulisanku. Karena aku juga tau, April itu
sejenis manusia yang galak, apalagi setelah anjing labrador hitamnya mati seminggu
yang lalu karena kegilaannya. Bayangkan saja, anjingnya sendiri ia suntik menggunakan
cairan avtur, hanya karena obsesi April yang ingin menjadi seorang dokter. Haha...
dasar orang gila! Orang gila cantik sih.
Dari dalam
kamarnya kudengar ia sedang asyik berbicara entah dengan siapa menggunakan
bahasa yang tidak aku ketahui. Lalu tanpa mengetuk pintu, aku langsung membuka
pintu kamarnya yang tak dikunci, dengan perlahan. Aku intip sedikit, nampak ia
sedang mengobrol dengan sebuah boneka plastik berwujud bayi perempuan berambut
pirang bergaun motif bunga-bunga. Kulihat April masih merebah di atas kasurnya
sambil memeluk boneka tersebut di tangan kirinya. Kini matanya tertuju padaku,
dan akhirnya muncul dialog:
April : Hey..
Agus! Masuk kantor orang nggak ketok-ketok dulu!
Aku : Hah.. kantor?
Hmm... gilanya makin parah ini anak.
April : Ini
kantorku, tempat aku praktek. Aku ini dokter yaah..
Aku : Hmm... Praktek
apa sih?
April : Ya
macem-macem lah, kebetulan ini lagi ada pasien seorang gadis kecil keturunan
Belanda.
Aku : Sakit apa
gadis kecil ini? (Aku bertanya sambil menutup mulutku karena menahan tawaku
yang hampir pecah).
April
mencubit lenganku dengan gemasnya, aku tahan sekuat-kuatnya karena tak mungkin
aku tega membalas cubitannya. Terlalu cantik untuk disakiti, bahkan ia pun sebenarnya
sedang sakit, sakit jiwanya. Dengan memandang wajahnya saja, seolah menjadi
pembius rasa nyeriku.
April : Awas yah
kalau berani meledekku lagi! Aku cubit lebih keras lagi!
Aku : Nggak
nggak nggak.. Ampun deh...
April : Awaaas...
Aku : Hehehe...
Eh, ayo kita lari pagi, kan kemaren kita udah sepakat mau lari pagi?
April : O... iya,
aku lupa! Tunggu sebentar, aku ganti pakaian dulu. Tolong, pintunya ditutup
sedikit ya Gus..
Aku : Hah?
Ganti disini?
April : Iya, ada
yang aneh?
Aku : Nggak.
Ya Tuhan,
aku tutup sedikit pintunya. Jantungku langsung berdebar kencang, darahku
mengalir naik hingga ujung kepala, mata kubuka lebar-lebar tanpa berkedip,
sebentar lagi akan aku saksikan pemandangan indah luar biasa atas ciptaan-Nya
yang Maha Agung. April!!!
Aku : Buseeeet!
Yang ganti baju, bonekamu?
April : Heh! Ini
pasienku!
Aku : yaa... ya
itu, maksudku. Yang ganti baju pasienmu?
April : Ya iya
laah.. Pasienku kan lagi sakit, dia harus ikut joging, banyak-banyak menghirup
udara pagi yang sejuk.
Aku : Ooooh...
Rasa rasanya
ingin kujedotkan kepalaku ini ke kasur! Kukira dia yang mau berganti pakaian,
malah bonekanya yang diganti pakaiannya. Gilaaa....!
Kini
bonekanya telah siap dengan pakaian mungil yang lebih ketat. Sementara itu, aku
dan April mengenakan pakaian yang sama, sejenis piyama berwarna serba putih.
Sebotol air mineral milik April telah aku bawa, karena April harus menggendong
bonekanya, nyatanya bonekanya memang tak bisa berjalan apalagi berlari. Kami
berjalan menelusuri lorong yang masih tetap gelap untuk menuju pintu keluar.
Tepat di depan pintu keluar, pak satpam menyapaku “Selamat pagi mas Agus.. jangan keluar jauh-jauh yaa..”. “Siap... Pak!” Jawabku.
Sebuah taman
yang berisi rerumputan hijau dan aneka bunga, membentang luas di depan pintu
yang dijagai oleh pak Satpam. Kami berjalan ke arah lembah rumput yang agak
luas. Kulihat di cakrawala sebelah timur, langit mulai membentuk warna gradasi
jingga biru dengan sedikit awan. Beberapa ekor ayam jago mondar mandir mencari
tanah yang bisa dipatuk-patuk. Beberapa suster juga kulihat mondar mandir, ada
yang menyiram bunga, menyapu dedaunan kering, membaca koran, dan senam. Para
penghuni kamar lainnya tak kulihat, karena masih asyik dengan mimpinya
masing-masing di kamar. Kulihat juga April sedang meletakan bonekanya di rumput
yang ada di depannya, mungkin si April ingin mengajarkan gerakan-gerakan senam
kepada bonekanya. Tak lama kemudian, ia mulai melakukan gerakan senam dengan
gaya semau-maunya, seperti gaya vokalis Band Metal yang sedang manggung. Mengibaskan
rambutnya keatas dan kebawah berkali-kali. Dasar aneh!.
Aku hirup
udara yang lembab ini dalam-dalam, agar oksigennya masuk keseluruh organ tubuh.
Lalu aku pun mulai melakukan senam dengan wajar sambil sesekali tertawa melihat
tingkah April yang makin menjadi-jadi. Aku heran, gadis secantik dia bisa
bertingkah tolol seperti itu. Tadi senam bergaya vokalis Band Metal, lalu senam
bergaya pantomim robot-robotan, sekarang senam bergaya pemain tinju. Ya ampuuun.
Tapi, apapun gayanya, wajahnya tetap mempesona. Rambutnya yang panjang berwarna
coklat, kini mulai berubah menjadi jingga disetiap ujungnya, karena cahaya
matahari mulai memasuki kawasan yang kami pijaki. Sesekali ia palingkan wajahnya
kearahku sambil tersenyum dan mengedipkan mata kirinya. Aku pura-pura saja tak
melihatnya.
Kini
matahari telah muncul seutuhnya dilangit sebelah timur, mencahayai kami semua
yang berpijak di atas bumi. Kurentangkan kedua tanganku dengan telapak terbuka
menghadap matahari. Dulu, April pernah berkata padaku bahwa sinar matahari pagi
mengandung vitamin D, yang baik untuk tulang dan menambah sistem kekebalan
tubuh. Ajaib sekali. Lalu kubalikan tubuhku 180 derajat membelakangi matahari, dengan
posisi tangan masih terentang, tujuannya agar punggung dan pantatku juga ikut
mendapatkan radiasi vitamin D. Kini, pandanganku tertuju pada sebuah gedung
besar di depanku. Sebuah gedung paninggalan jaman Belanda, itu pertanda bahwa
gedung tersebut telah berusia lebih dari 100 tahun, temboknya kokoh berwarna
putih, memiliki 2 pintu besar yang saling berjejeran yang selalu dijaga oleh pak
satpam, di atas pak satpam terdapat sebuah tulisan besar yang dibuat melengkung,
tulisannya “RUMAH SAKIT JIWA VREDIGHEID”. Vredigheid itu artinya ketentraman,
kedamaian dan ketenangan. Di gedung itu lah kami tinggal. Aku tak ingat sudah
berapa tahun aku tinggal, mungkin karena akunya yang pelupa. Kulihat kaca-kaca
jendela rumah sakit memantulkan cahaya matahari yang cukup menyilaukan. Aku
balikkan lagi tubuhku.
Aku langsung
saja berlari mendekati April yang masih melakukan senam, aku sambar tangannya,
kupegang erat supaya tak lepas, lantas membuat April menjadi harus ikut
berlari. Sehingga terpaksa ia tinggalkan bonekanya begitu saja di rerumputan. Kemudian,
kami berdua lari pelan-pelan mengikuti lintasan kecil berkelok-kelok yang
terbuat dari susunan blok paving. Menyusuri lembah sabana dan taman bunga. Kami
terus berlari untuk mencapai ujung dari lintasan ini.
Aku : April,
pasienmu tertinggal sendirian di halaman rumah sakit. Tak apa kan? (Maksudku
adalah bonekanya)
April : Tak apa..
nanti juga dia nyusul.
Aku : Hmmm...
mulai kambuh gilamu.
April : Kamu
pikir kamu waras? Kamu itu kan juga gila.
Aku : Aku waras
kok.
April : Kamu itu
gila!
Aku : Kalau aku gila, tak mungkin aku bisa mengendalikan
kekuatan pikiranku, seperti saat ini.
April : Mmmm....
begitu? Trus?
Aku : Hatiku
masih bisa merasakan aneka macam perasaan. Senang, Gembira, Sedih, Takut,
Gelisah, Kaget dan Iba. Lalu kemudian aku juga bisa merefleksikan
perasaan-perasaan tersebut pada gerakan tubuh.
April :
Maksudnya? -___-
Aku : Disaat
perasaanku sedang senang dan gembira, maka otomatis aku akan tertawa.
Sebaliknya, saat perasaanku sedang sedih dan kecewa, maka otomatis pula aku
akan menangis. Begitu...
April : Aah..
kalau cuma begitu, aku juga merasakannya!
Aku : Ooh..
kamu juga bisa merasakannya? Aku kira cuma aku saja. Hahaa
April : Aduuuh...
makannya, jangan sok pintar. Sudah gila, sok pintar lagiii...
Aku : Ahahaa...
Kami masih
berlari. Rambut panjangnya sengaja ia ikat dan gulung ke atas. Sehingga dapat
aku lihat keringat di lehernya mengalir menuju pundak, membuat kerah piyamanya menjadi
basah. Sesekali ia naikkan celananya yang sedikit kendor karena selalu saja
melorot, aku pun begitu. Maklum, seragam khusus pasien.
Dalam
gerakan slowmotion, aku benar-benar
memperhatikannya: Wajahnya tampak dari samping. Rambutnya panjang kecoklatan. Dahinya
lebar. Alisnya hitam lebat. Matanya menjorok kedalam. Bulu matanya hitam lentik
dan asli. Hidungnya mancung dan sedikit lancip ujungnya. Pipinya terdiri dari
lapisan kulit tipis berwarna kuning langsat dengan ditumbuhi bulu-bulu halus dan
lesung yang begitu dalam ketika sedang tersenyum. Bibirnya terbagi menjadi dua
bagian, atas dan bawah, yang berwarna merah jambu tanpa olesan lipstik. Bibir
atas nampak lebih maju ketimbang bibir bawahnya. Dagunya sedikit lancip tanpa
belahan. Telinganya menempel tepat disamping kanan dan kiri kepalanya yang
lonjong. Sepasang anting permata hitam menembus lapisan kulit telinganya
sebagai hiasan. Keseluruhan obyek menyatu dalam garis-garis anatomi yang tepat,
membentuk sebuah mahakarya yang dinamakan “wajah”. April. Dia lah sebagian
kecil dari ciptaan Tuhan.
Gedung rumah
sakit telah hilang dari pandangan. Tak kupedulikan lagi pesan pak satpam, kini
aku berada sekitar 1 kilometer dari rumah sakit. Kini background pemandangan
perlahan mulai berganti. Akhirnya sampai lah kami di ujung lintasan lari, kami
pun berhenti sejenak. Disebelah kanan dan kiri kami berdiri pohon-pohon karet
yang batangya terdapat garis-garis bekas sayatan pisau. Tak kulihat seorang pun
disekitar sini, kecuali April. Mungkin karena hari ini hari minggu, para petani
lebih memilih ngaso dirumah ketimbang
berkebun. Nampak di depan kami, sebuah kebun anggur yang terbentang luas,
gapuranya terbuat dari bambu yang dililit tanaman Alamanda, yang berbunga warna
kuning. April memegang tanganku lalu dia tariknya aku masuk ke dalam kebun
anggur tersebut.
Setelah
masuk ke dalam kebun, yang kurasakan adalah sejuk. Sejuk karena tanaman anggur
disini memang sengaja dibuat saling merambat dan mengikat antara cabang satu
dan cabang lainnya. Tepat di atas kepala kami. Dengan tangan yang masih
terpegang si April, aku fokuskan pandangku ke segala penjuru. Kulihat cahaya
matahari masuk melalui celah-celah dedaunan karena begitu lebatnya. Daun hijau
dan daun kuning menepati posisi di bagian atas, sedangkan daun kering berserakan
di bawah, di tanah. Buah anggur menempel disegala sisi, semua berwarna hijau,
pertanda bahwa mereka belum matang.
April
melepaskan pegangannya, kemudian melompat, mencoba meraih beberapa butir anggur
dengan tangannya. Setelah berhasil ia dapatkan, tiba-tiba ia lemparkan sebutir
anggur tepat di wajahku, “pyaaak”. Sebutir anggur mendarat dan pecah di dahiku.
Sontak membuatku kaget.
Aku :
Sialaaan... Awas yah! Aku balas
April : Coba saja
kalau bisa.. Weeek..
Dengan
tubuhku yang tinggi, aku tak perlu repot melompat untuk meraih serenteng
anggur. Kini serenteng anggur telah aku dapatkan. Nampak April sedang mondar
mandir mencari tempat mengumpat pada barisan pangkal pohon anggur tersebut. Aku
dekati. Ketika ia berdiri hendak berpindah tempat sembunyi. Langsung kulempari
serenteng anggur sekaligus. Dan “Praaaak”, tepat mendarat di wajah cantiknya.
Aku :
Ahahahaha.... Rasain!
Aku ketawai
dia dengan sepuas-puasnya. Wajahnya yang belepotan air, biji dan kulit anggur nampak
memerah, sepertinya hendak menangis. Dan benar saja, ia menangis sambil duduk menutupi
wajahnya.
Aku : Yaaah...
begitu saja menangis..
April : Bodoh
kamu! Sakit tau!
Aku : Kamu
duluan yang memulai
April : Aku cuma
sebutir, sedangkan kamu serenteng! Dasar.. orang gila tak berperasaan.
Setelah
kupikir-pikir, benar juga. Aku sudah keterlaluan. Bisa-bisanya gadis secantik
itu yang begitu aku cintai yang begitu aku sayangi, malah kusakiti. Ah..
bodohnya aku.
Aku duduk
disebelahnya. Perlahan kupeluk dirinya, kubisikan kata-kata maaf ditelinganya,
kubelai-belai rambutnya, kubersihkan pula sisa-sisa pecahan anggur yang
menempel di wajahnya. Kurasakan tangannya menggenggam erat baju piyamaku. Isak
tangisnya perlahan mulai berhenti. Aku tiup-tiup wajahnya, berharap rasa
sakitnya segera terbang bersama angin.
Tiba-tiba April
menatap wajahku tanpa ekspresi, matanya begitu tajam. Aku pun begitu,
menatapnya dengan tajam. Memikirkan hal apa yang akan terjadi setelah ini. Perlahan
April mendekatkan wajahnya padaku, lalu makin dekat dan makin dekat, hingga
bibir kami akhirnya bersentuhan. Ya.. April menciumku. Dan aku pun menciumnya.
Mencium sebuah bibir yang begitu sempurna bentuknya. Pertama kalinya dalam
hidupku. Oh Tuhan.. betapa nikmatnya. Aku terbius kenikmatan. Tak dapat aku
memikirkan hal-hal lainnya kecuali April. Lalu, ia kalungkan tanganya pada
leherku, aku pun begitu, kukalungkan juga tanganku di lehernya. Dapat kulihat,
bulu-bulu halus di tangannya mulai berdiri ketika kubelai daun telinganya. Aku
rebahkan tubuhnya di atas tanah yang beralaskan dedaunan kering. Hembusan nafas
yang keluar dari lubang hidungnya aku hirup dalam-dalam. Kini tubuhnya yang
langsing nampak mengeliat setelah kuciumi lehernya, nafasnya pun mulai
mengeluarkan suara desahan. Secara reflek, tangan kami berdua bergerilya
mencari cari sarang persembunyian lawan. Karena terlalu nikmatnya, hingga aku
tak sadarkan diri.
*
Pada sore
hari sekitar jam 5, aku dibangunkan oleh pak Dokter dan 3 orang suster yang
semuanya aku kenal. Aku bangun di kebun anggur yang kering dan gersang, dengan
tanpa busana, sambil memeluk sebuah makam dan sebuah boneka usang yang juga tak
berbusana dan berlubang di bagian alat vitalnya, aku kaget ketika melihat papan
nama nisan makam tersebut bertuliskan R.I.P APRILLIA 1990. Astaga....! kegilaan
macam apa ini?. Semuanya begitu nyata, sampai tak bisa kubedakan antara mimpi
dan realitas, sepertinya aku memang masih harus tinggal lebih lama lagi di
Rumah Sakit bersama para Dokter dan para suster yang baik dan penyabar.
Pikiranku terasa lelah sekali, aku ingin pulang, semoga ini adalah realitasnya.
Aku raih
pakaianku yang berserakan di tanah, lalu segera kupakai. Pak Dokter dan bu
suster telah menungguku untuk membawaku pulang menuju Rumah Sakit Jiwa
Vredigheid. Aku dimasukannya ke dalam mobil ambulan. Sambil menepuk nepuk
pundakku, pak Dokter menceritakan jenis penyakitku, kalau tidak salah namanya Skizofrenia. Dalam perjalan pulang,
masih terbayangkan sosok April dalam pikiranku, “Aprilku yang kucinta... entah siapa dirimu, entah darimana asalmu, entah
bagaimana kamu datang dan entah kemana kamu pergi, aku ucapkan terima kasih
yang sebesar besarnya, terima kasih telah memberiku pengalaman tak terlupa pada
sebuah pagi yang lembab”.
*
Jogjakarta,
25 Juli 2015